Diangkat dari kisah nyata, "The 33" dimulai dengan adegan biasa saja. Siang itu cuaca cerah. Ke-33 orang penambang seperti biasa melalukan kegiatannya, seperti saling menjemput sebelum berangkat ke Pertambangan San Jose. Cek-cok antara istri dan wanita simpanan salah seorang penambang sempat meramaikan seisi bus reyot yang lebih mirip kotak sabun berkarat itu. Gelak tawa mengiringi mereka dalam perjalanan ke tandusnya padang pasir tempat pertambangan itu berada.
Di hari itu, mereka harus bekerja 518 meter di bawah permukaan tanah untuk mencari emas dan tembaga. Situasi berubah tegang kala batu-batu yang besar itu mulai runtuh. Semua jalan keluar tertutup oleh batu yang amat besar. Satu-satunya harapan itu berupa tangga panjang yang menjulur ke permukaan tanah. Nahasnya, tangga itu tak pernah diselesaikan pembuatannya oleh si pemilik tambang.
Peralatan keselamatan dibiarkan tak terurus. Kotak P3K kosong melompong. Alat komunikasi berupa radio yang seharusnya bisa menghubungkan mereka dengan dunia luar ternyata sudah lama rusak dengan kabel terburai. Ini adalah potret bahwa ketidakpedulian pada keselamatan buruh bisa menjadi bencana. Bekerja di lingkungan yang ekstrem dengan risiko tinggi, mereka digambarkan hanya memakai perlengkapan seadanya saja. Situasi serupa juga kerap kita jumpai di negeri kita; banyak kecelakaan kerja yang terjadi karena standar keamanan kerja yang tidak dipenuhi oleh perusahaan.
Dengan setting tempat yang itu-itu saja, yang bergeser di antara gua dan halaman pertambangan membuat film ini bisa dengan mudahnya menjadi membosankan. Akan tetapi kuatnya akting dari beberapa pemain seperti Antonio Banderas yang memerankan Mario Sepúlveda dengan perannya sebagai pria yang humoris, kuat, dan pantang menyerah begitu meyakinkan. “Kalau tak ada yang mau menolong, masih ada keluarga kita di luar sana! Mereka akan menggali, meski hanya dengan tangan kosong!,” ungkap Antonio Banderas yang mampu memerankan Mario dengan cemerlang.
Akting aktris Prancis, Juliette Binoche, juga sangat apik. Ia berperan sebagai Maria Segovia, kakak dari seorang penambang yang terperangkap, juga berhasil menyentuh hati ketika ia mati-matian bertahan di depan pagar area pertambangan kala pihak keamanan mencoba mengusirnya. Dengan keberaniannya ia melempar batu ke arah pihak keamanan. Meminta agar kasus itu tidak ditutup-tutupi sehingga adiknya bisa diselamatkan.
Humor-humor segar yang diselipkan disepanjang alur cerita juga tampak natural, sehingga membuat film ini tidak menjemukan. Contohnya ketika persediaan makanan habis, si kakek tua buruh tambang yang hampir pensiun itu malah menanggapi dengan berkata, “Kalau begitu, saya akan mengajukan surat pengunduran diri!” Ungkapannya ini malah mengundang tawa dari para penambang lainnya yang merasa sudah tidak ada lagi harapan hidup.
Jika film-film lainnya tentang perjuangan hidup di lingkungan ekstrem mengungkapkan sisi-sisi terkeji manusia, seperti rela membunuh untuk bertahan hidup, "The 33" berbeda. Film ini memberi pesan bahwa di situasi sesulit apa pun, manusia masih memiliki kendali untuk tetap menjadi makhluk yang baik. Yang rela berbagi makanan meski hanya satu sendok makanan kaleng atau remah-remah biskuit agar semua orang tetap bertahan hidup. Dan yang tak kalah penting adalah pesan bahwa harapan itu tetap ada di kondisi paling tragis sekalipun.
Sutradara yang berhasil adalah yang bisa membuat penonton dekat dengan karakter yang ada di film sehingga sebagai penonton, kita jadi peduli dengan keberlangsungan hidup para tokoh. Masing-masing tokoh di film ini memiliki karakter yang khas, biarpun tak semuanya diceritakan secara mendetail. “Apakah mereka semua akan selamat?” Itu yang saya ucapkan dalam hati ketika melihat aksi para penambang yang dirundung tragedi. Bagi saya, rasa cemas sepanjang film itu menjadi bukti bahwa film ini bagus dan layak ditonton. Nantikan filmnya di bioskop-bioskop Tanah Air.