
Beberapa waktu lalu, setelah Pilkada di 101 daerah berlangsung, banyak meme berseliweran di media sosial kami, dari berbagai parodi pasangan calon kepala daerah hingga urusan jari yang dicelup tinta. Meme-meme itu sukses bikin kami tergelak!
Meme, atau mimema, sejatinya merupakan gabungan gambar dan teks yang biasanya berisi humor. Sejarahnya cukup panjang. Dulu, meme sering digunakan untuk membahas hal-hal serius (politik salah satunya). Namun kini, perkara remeh-temeh seperti fenomena cara ibu-ibu berkendara motor, misalnya, atau curhat galau soal percintaan, justru lebih banyak dijadikan meme.
Itu sebabnya, kini meme jadi terkesan tak serius. Banyak orang menganggapnya sekadar sampah, hasil kreasi orang yang kurang kerjaan, dan minim manfaat. Tetapi, benarkah demikian?
Populer dalam meme
Survei yang kami lakukan terhadap komunitas PESONA menunjukkan hasil menarik. Sebanyak 63,8% responden ternyata mengakui meme bermanfaat bagi mereka dan komunitas. Rosa, seorang akuntan yang ikut dalam survei tersebut, bilang, “Kalau ada meme, chat group jadi less serious karena obrolannya nggak hanya kerjaan.”
Yang lebih menarik, 74,5% responden juga merasa meme bisa mencerahkan kembali mood mereka yang kusam. Anda masih ingat pada meme sampul album penyanyi Tulus yang viral di jagat maya? Selain wajah yang diubah-ubah, namanya dipelesetkan menjadi banyak hal—dari “lulus,” “fulus,” “angus,” hingga menjadi “kursus” dan “tadarus.”
Dalam buku Diary Dagelan 2015, dijelaskan bagaimana meme Tulus itu bermula dari seorang mahasiswa yang merayakan kelulusan. Dan ketika satu meme terunggah ke media sosial, tak perlu waktu lama untuk menanti varian lainnya. Tulus, terlepas dari kesialannya dijadikan meme, sebetulnya telah membantu banyak orang untuk tertawa.
Menurut Lulus Gita Samudra, Content Development Manager dari Dagelan (situs penyedia konten meme), humor dalam kehidupan sehari-hari itu memang penting. “Selama manusia masih terus bersitegang dengan manusia lainnya, hanya humor yang dapat mencairkan suasana.” Itu sebabnya Dagelan punya tagline “Asikin Aja!”
Antara nyeleneh dan kreatif, yang jelas, upaya membuat meme bukan dilakukan orang kurang kerjaan. Tim pembuat konten di Dagelan adalah contohnya. Mereka bahkan menyatakan komitmen untuk terus menyediakan konten yang bisa menghibur dan membahagiakan orang.
Lulus juga bilang bahwa, selain meme figur publik seperti Tulus dan Ira Kusno, konten tentang relasi banyak diminati masyarakat. “Bukan soal likes, biasanya yang seperti itu paling cepat ditanggapi.” Tapi jika Anda bukan tipe orang yang suka dengan hal-hal berbau relasi, silakan coba cek kampanye lainnya. #JanjiManis2017, misalnya, atau #AsikinPilkada yang mencoba membawa pandangan positif di tengah ingar-bingar Pilkada DKI Jakarta.
Kini bayangkan jika lebih banyak orang mengonsumsi meme dan bisa tertawa bersama ketimbang berselisih di media sosial. Dunia mungkin bisa lebih adem. Tetapi untuk itu, meme mesti menyebar luas terlebih dahulu.
Emosi, viral, dan media sosial
Meme, sebagai media untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan, sebenarnya bukan fenomena baru. Dari dulu ia sudah ada, namun bentuk dan cara penyebarannya tidak sepraktis dan secepat sekarang. Ada masanya karikatur dan komik strip di koran menjadi populer. ‘Proto meme’ juga pernah hadir dalam gambar digital sederhana yang beredar via fitur infrared pada ponsel.
Roby Muhammad, Phd, sosiolog sekaligus pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa format visual meme saat ini memang sesuai dengan karakter media sosial yang bisa memediasi interaksi orang ke orang. “Karena fungsinya untuk interaksi orang ke orang ini, maka muatan emosi di dalamnya besar.”
Muatan emosi yang dimaksud Roby adalah berbagai ungkapan perasaan yang banyak dibagikan lewat media sosial. Dan karena tujuan utamanya untuk berinteraksi, maka wajar saja jika para pengguna media sosial kemudian membagikan ke temannya yang lain. Tujuannya, kata Roby, sebetulnya sama saja dengan interaksi manusia secara offline: Mereka hendak membangun kedekatan emosional.
“Sama saja seperti sekumpulan orang yang sedang ngobrol offline. Meski ada informasi di situ, kan, lebih seru kalau bisa tertawa bareng, atau terinspirasi bareng,” ujar Roby. Sederhananya, saat orang-orang berkumpul, bukan cuma informasinya yang penting, tapi emosi yang sama terhadap yang diperbincangkan. “Nyela-nyela orang lain, kan, ujungnya untuk menertawakan bersama. Meme pun sifatnya demikian.”
Kini, di era internet, manusia tak lagi punya dinding pembatas fisik untuk berekspresi dan berdialog. Audiens pun meningkat. Itu sebabnya meme yang mewakili perasaan banyak orang bisa cepat menyebar di masyarakat (83% responden survei PESONA mengatakan tertarik menyebarkan meme lucu kepada teman-teman mereka).
Di luar hal tersebut, Roby juga menyoroti bahwa, sesungguhnya, manusia punya kecenderungan untuk mengungkapan perasaannya pada orang lain. “Itu sifat manusia, ingin curhat. Yang nyebarin meme itu pada dasarnya sedang curcol,” katanya. Sekilas Roby tampak hanya berseloroh. Tetapi jika mau menilik lebih dalam, pada akhirnya, kebebasan untuk bisa berkomunikasi dan berbagi itulah yang membantu menjaga seseorang tetap ‘waras’.