Sosok Wida terlihat ayu dengan rambut panjang bergelombang. Kulitnya langsat dan sehat, dan wajahnya selalu dihiasi senyum ramah. Sehari-hari, Wida biasa tampil natural tanpa banyak riasan. Tapi hari itu cukup berbeda: Wida akan menjalani sesi pemotretan dan wawancara. Ia terlihat bersemangat. Namun, jika umumnya wanita bersemangat saat membicarakan fashion dan kecantikan, Wida justru berapi-api ketika membahas… tempe!
Ignatia Widya Kristiari, yang lebih dikenal sebagai Wida Winarno, adalah pendiri Tempe Movement. Tujuan gerakan itu adalah pengakuan dunia bahwa tempe milik Indonesia. Wida juga ingin agar tempe tak dipandang sebelah mata, mengingat keistimewaannya dari sisi teknologi pangan. “Dia ini makanan tradisional. Sederhana, tapi sebetulnya proses pembentukannya, secara kimiawi, kompleks sekali,” katanya bangga.
Tempe Movement memang bukan gerakan formal dengan kampanye yang masif dan ekspansif. Ia mengaku hanya menyediakan ‘kolam’ bagi orang-orang untuk beraktivitas bersama memajukan potensi tempe. Salah satu contohnya adalah ketika ia berhasil menyatukan para peneliti, penggemar, dan penggiat tempe dalam Konferensi Internasional Tempe yang berlangsung di Yogyakarta, Februari 2015 silam. Sebuah buku lahir dari konferensi itu.
Tempe Movement pun berlanjut hingga kini. Wida aktif memberikan workshop pembuatan tempe di berbagai lembaga dan komunitas. Ia melibatkan teman-teman sesama alumni Institut Pertanian Bogor Angkatan 22. Mereka bekerja dengan keyakinan bahwa, suatu saat, pangan super warisan moyang kita ini mampu membuat masyarakat kita mandiri.
Satu hal menarik dari workshop tersebut adalah soal tata cara pembuatan tempe. Wida dan kawan-kawan menggunakan teknik Green Tempe, satu cara baru membuat tempe yang lebih ramah lingkungan. Inovasi Green Tempe ini lahir dari keinginan untuk maju dan keberanian untuk mencoba hal baru.
Saat itu Wida berpikir, “Kita harus melakukan apa, nih, biar tempe sustain di masa depan?” Setelah melalui uji coba, akhirnya mereka berhasil membuat formulasi baru yang mempercepat masa pembuatan tempe. Metode ini juga memerlukan lebih sedikit bahan bakar dan menghasilkan lebih sedikit limbah.”
Ketika saya menghadiri workshop Green Tempe di Lapas Cipinang, Jakarta, saya menyaksikan langsung aksi para pejuang tempe ini. Para warga binaan pun tampak penasaran ketika diajak praktik langsung membuat tempe. Surya, napi berusia 48 tahun, terlihat sangat antusias. Ia tak menduga bahwa pembuatan tempe ternyata cukup sederhana. Ia telah mencoba berbagai pelatihan di Cipinang, tetapi setelah ikut workshop Wida, muncul keyakinan baru: Surya ingin membangun usaha tempe sendiri begitu ia bebas. “Kesempatan itu, sekecil apa pun, kalau dijalani, pasti akan menghasilkan. Saya mau coba menempe,” ujarnya.
Apa yang diyakini Surya diyakini pula oleh Wida. Mengajarkan cara menempe dan bisa bertemu orang-orang lain yang punya minat sama membuatnya tetap optimis. “Saat ini, kita cuma belum bersatu. Banyak orang juga punya visi serius terhadap tempe. Semoga, kelak akan lebih banyak orang bisa bergabung dalam gerakan ini.”
Foto: Shinta Meliza, Lufti Hamdi
Pengarah gaya (foto utama): Dian Prima