Ingat beberapa tahun lalu saat Anda menyiapkan resepsi pernikahan Anda bersama calon suami? Saat kita menghadapi masalah, yang kita lakukan pertama adalah mencari dukungan, tanya ibu, kakak, dan teman untuk mendapatkan solusi. Kita mengesampingkan bagaimana emosi kita saat itu. Mencari solusi adalah yang penting. Tapi, apa yang dilakukan calon suami kita? Mungkin saat itu ia duduk-duduk di café sambil minum kopi, atau ke gym.
Satu alasan penting mengapa pria dan wanita berbeda cara menghadapi stress adalah hormon. Saat stress hormon yang berperan adalah kortisol, ephineprin, dan oksitosin. Pada wanita yang sedang stress, saat kortisol dan ephineprin melonjak, hormon oksitosin dilepaskan dari otak, mengambil alih kedua hormon itu, dan membuat wanita menjadi relaks. Dalam kondisi relaks, wanita akan menghadapi masalahnya dan menyelesaikannya.
Sementara pada pria, hormon oksitosin jumlahnya hanya sedikit, sehingga tak mampu menetralisir kortisol dan ephineprin. Karena kurangnya hormon ini, pria cenderung fight or flight.
Saya ingat, bagaimana anak laki-laki saya mengatasi masalahnya. Ketika permintaannya untuk naik ke atas genteng saya tolak dengan alasan yang masuk akal, tampaknya dia bisa mengerti tapi saya tahu dia marah. Yang dia lakukan selanjutnya adalah mengambil sepeda dan balapan sepeda dengan teman-teman bermainnya. “Pria mencari kegiatan pelarian untuk mengurangi stresnya supaya lebih relaks,” kata Carl Pickhard, Ph.D, psikolog dan penulis buku The Everything Parent’s Guide To Positive Discipline. “Main golf adalah pelarian paling banyak dipilih oleh pria untuk lari dari stress. Mereka menyalurkan energi stress dalam cara yang menantang sambil menikmati kebersamaannya dengan teman-teman,” katanya. Pria tidak akan curhat.
Dalam dunia kerja, pria cenderung membiarkan usaha lawannya untuk menyusun tuntutannya dan kehilangan fokus pada keasyikannya sendiri. “Memiliki performa yang maksimal adalah segala-galanya bagi pria, termasuk saat ia menghadapi stress,” kata Pickhard.