Ia mengajarkan kepada siapa saja untuk menjadikan waktu luang sebagai sumber penghasilan. Mengaku tak bisa diam, begini cara Nuning Sekarningrum memanfaatkan waktunya.
Galeri itu berada di belakang rumah bernomor 37, sehingga sang pemilik, Nuning Sekarningrum, menamakannya Galeri 37. Ruangannya tidak terlalu luas namun nyaman karena berisi bermacam kerajinan tangan yang cantik, dari tudung saji, pembungkus stoples, bantal, hingga koper, tas, dompet, dan aksesori. Sebelumnya, galeri ini bernama Noen Craft, berasal dari nama panggilannya sendiri, Teh Noen.
“Saya cukup dikenal, biasanya orang bilang ‘kalau butuh craft, ke Teh Noen saja’. Tapi saya ingin ada wadah untuk teman-teman yang bergabung di sini dan bukan hanya nama saya yang dikenal,” ungkap Nuning saat saya temui di Galeri 37, awal Juli lalu.
Meski berada di bagian belakang rumah dan menyatu dengan rumah, Nuning menerapkan jam kerja. Ia akan datang ke Galeri 37 pukul sembilan pagi dan meninggalkan galeri pukul empat atau lima sore.
“Saya sudah berkomitmen dengan suami karena ada anak-anak yang harus diurus,” kata Nuning. Jam kerja ini juga berfungsi untuk mendisiplinkan diri. Ia akan berhenti bekerja jika sudah saatnya ‘pulang’, meski teman-teman yang lain masih asyik berkumpul dan bekerja di sana hingga malam.
Sebelum menekuni kerajinan tangan, Nuning adalah atlet voli junior Jawa Barat. Setelah menikah, Ia berhenti jadi atlet. Mengaku bukan seorang yang betah berdiam diri di rumah, tujuh tahun lalu Nuning mempelajari quilting dan menghasilkan bed cover, taplak meja, dan sejenisnya, yang tak disangka disukai banyak orang. “Pada tahun 2015, saat teknik decoupage mulai booming, saya juga mempelajarinya. Jadi belajarnya bertahap. Setelah quilting, saya belajar painting, decoupage, juga wire working,” cerita Nuning.
Karya Nuning mulai dipamerkan di berbagai pameran, dan dari situ biasanya ia mendapat pembeli baru. Bahkan kini ada pembeli dari Jepang yang rutin meminta Nuning mengirimkan kipas setiap tiga bulan. “Saya senang menciptakan sesuatu yang berbeda dengan karya orang lain. Tikar misalnya—orang lain lebih suka menggunakan pandan, saya menggunakan rotan atau lontar. Saya bekerja sama dengan penyedia rotan dan lontar dari Bali,” ungkap Nuning, tersenyum.
Selain dipamerkan di berbagai pameran, produk-produk Galeri 37 dipasarkan di beberapa pusat perbelanjaan. Nuning sengaja ‘buka lapak’
agar masyarakat luas mengenali produknya. Selebihnya, produk yang lengkap tetap berada di Galeri 37, di bagian belakang rumahnya itu.
Uniknya, hingga kini Galeri 37 tidak memiliki akun media sosial.
“Saya itu dasarnya gaptek. Jadi pembeli kami murni dari mulut ke mulut. Atau, ada saja yang menyebarkan di media sosial mereka masing-masing, sehingga yang menghubungi saya terus bertambah. Sebetulnya ada juga dari pihak e-commerce yang menawarkan kerja sama. Tapi saya belum menerimanya, karena stok saya masih terbatas,” ujar Nuning.
Tak hanya menjual satuan, Galeri 37 juga menyediakan pesanan dalam jumlah besar untuk suvenir pernikahan atau acara-acara besar lainnya, dan bisa sesuai keinginan.