Bangkitnya sineas perempuan generasi baru
Kebangkitan kembali perfilman Indonesia bisa dikatakan hampir bersamaan dengan terbentuknya Orde Reformasi (1998) di dunia politik. Film Kuldesak (1998) adalah film omnibus yang menjadi lokomotif bangkitnya film Indonesia, yang hebatnya digerakkan oleh seorang perempuan, Mira Lesmana.
Setelah itu, ada empat film layar lebar yang ikut menandai kebangkitan itu, yaitu Cinta dalam Sepotong Roti (1998), Petualangan Sherina (2000), Ada Apa dengan Cinta (2002), dan Jelangkung (2001). Dua film yang disebut terakhir sekaligus menandai mewabahnya kembali film bergenre remaja dan horor jilid kedua.
Angin Reformasi juga mengembuskan semangat bagi para perempuan untuk terjun sebagai sineas, yaitu sebagai sutradara dan produser film. Mira Lesmana, sang pelopor, menjadi produser Petualangan Sherina dan AAdC yang ternyata jadi box office.
Nia Dinata di bawah bendera Kalyana Shira Films menyusul dengan menyutradarai dan memproduseri film Ca Bau Kan (2002) dan Arisan! (2004). Yang juga tak kalah fenomenal adalah filmnya Berbagi Suami (2006) tentang ruwetnya berpoligami.
Nan T. Achnas, Viva Westi, Lola Amaria, Mouly Surya (Fiksi), Lasja F. Susatyo, Djenar Maesa Ayu, Upi, dan Nia Zulkarnaen adalah sebagian nama yang juga ikut meramaikan era kebangkitan sineas perempuan ini. Yang istimewa, mereka dengan berani memproduksi film-film—termasuk secara independen atau indie—yang mengusung idealisme, meskipun menurut pakem bakal sulit dijual.
Ada yang sukses secara komersial, banyak juga yang untuk bisa masuk bioskop pun ditolak.
Tak mau lagi jadi objek
Istri yang pasrah saja dianiaya suami, atau perempuan yang tunduk tanpa perlawanan di tengah aturan patriarkis yang membatasi gerak perempuan, jangan harap bakal dimunculkan oleh para wanita sineas ini.
Nia mengakui, peran-peran perempuan tak berdaya dan teraniaya di film atau sinetron tak jarang berhasil memancing empati penonton, dan ikut mengatrol rating. Tapi Nia berani menjamin bahwa sutradara, produser, atau penulis skenarionya pasti bukan perempuan.
Mengusung suara perempuan di film, diakui Nia, memang sulit mendapatkan investor yang mau menanam modal—karena dianggap kurang komersial. Karena itu, idealnya ada tiga ujung tombak yang bisa mengusung suara perempuan seutuhnya dalam sebuah film, yaitu sutradara, produser, dan penulis skenario.
Tapi, meskipun perempuan hanya memegang satu dari tiga ujung tombak itu, pasti tetap ada napas berbeda dibandingkan jika ketiga unsur itu semuanya dipegang laki-laki. “Paling tidak, ada pembelaan terhadap perempuan, karena kami tidak rela bila perempuan ditampilkan sebagai makhluk bodoh yang dengan senang hati dijadikan objek keegoisan laki-laki.”
Ia juga senang bahwa sekarang banyak aktris dan aktor—terutama yang muda-muda—yang mau bereksperimen dalam akting, termasuk mau main dalam film-film independen yang lebih mengusung idealisme ketimbang komersial. “Mereka bahkan tak keberatan dibayar kecil atau tidak dibayar sama sekali.”
Meskipun cukup banyak yang tak berhasil masuk bioskop, atau gagal secara komersial, film-film itu tidak berakhir sia-sia. Soalnya, sekarang banyak festival film, di dalam maupun luar negeri, yang bisa diikuti untuk memperkenalkan film-film mereka. “Yang membanggakan, cukup banyak Indonesia (termasuk karya sineas perempuan) yang mendapat penghargaan di festival-festival film luar negeri,” kata Nia.
Kendati begitu, ada yang belum berubah dari dulu hingga sekarang. Popularitas aktris-aktris kita biasanya tidak bertahan lama. Begitu seorang aktris memasuki usia 35 tahun ke atas, sangat sulit mencari investor yang mau memodali produksi sebuah film yang memasang si aktris sebagai pemeran utama.
Akibatnya, sang aktris pelan-pelan ‘melorot’ jadi pemeran pendamping, lalu pemeran pembantu, sampai akhirnya cuma jadi pelengkap, bahkan figuran.
Hal ini sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia. Di Hollywood pun terjadi hal yang sama. Sehebat apa pun seorang Meryl Streep atau Helen Mirren, setelah mereka menjadi tua, jarang sekali ada produser yang berani memasang mereka sebagai pemeran utama.
Berbeda dengan aktor-aktor—yang makin tua justru dianggap makin seksi. Sebut saja Al Pacino, George Clooney, dan Robert de Niro. “Mungkin ini akibat eksploitasi dari media-media mainstream yang selalu mengajak agar perempuan tampil awet muda, seolah kalau terlihat tua jadi tidak cantik lagi. Celakanya, saya sendiri juga termakan oleh kampanye seperti itu,” ujar Nia, tertawa.