Pemeran dan sineas perempuan dalam perfilman kita termasuk maju dibanding negara-negara berkembang lain.
Yang masih kurang adalah keberanian para investor untuk menanam modal di film-film yang mengusung suara perempuan.
Roekiah tercatat sebagai primadona pertama dalam perfilman Indonesia (waktu itu masih bernama Hindia Belanda) di tahun 1937, setelah menjadi pemeran utama dalam film Terang Boelan (Het Eilan der Droomen) produksi ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat).
Film tentang lika-liku percintaan sepasang kekasih itu amat populer sekaligus sukses secara komersial, bahkan sampai ke Singapura. Nama Miss Roekiah pun melejit sebagai bintang film wanita pribumi paling terkenal di masa itu. Sayangnya setelah Jepang menduduki Hindia Belanda, namanya menghilang begitu saja dari dunia film.
Bom seks dan lahirnya sutradara wanita
Setelah Indonesia merdeka, industri perfilman Indonesia mulai menggeliat lagi, tapi kali ini digerakkan oleh sineas-sineas bumiputra seperti D. Djajakusuma, Djamaluddin Malik, dan Usmar Ismail.
Film Seruni Salju (1951) kembali melejitkan seorang aktris pribumi lain, yaitu Titien Sumarni, yang merupakan salah satu aktris Indonesia paling terkenal pada zamannya, bahkan dijuluki Marilyn Monroe-nya Indonesia. Karier Titien hanya berusia lima tahun—setelah itu, popularitas Titien menurun hingga akhirnya hidup miskin. Ia meninggal muda di usia 35 tahun.
Di periode bersamaan muncul aktris lain yang tak kalah sensasional bernama Nurnaningsih. Tidak tanggung-tanggung, ia dijuluki sebagai bom seks pertama Indonesia berkat keberaniannya tampil nyaris bugil dan beradegan seks di film Harimau Tjampa (1954), sehingga ia dijuluki paduan antara Jane Russell dan Marilyn Monroe, dua bom seks Hollywood tahun 50-an.
Foto telanjangnya membuat Nurnaningsih diboikot dari dunia hiburan dan terpaksa ‘menghilang’. Ia meninggal dalam keadaan miskin sebagai tukang cuci di usia 79 tahun.
Di tahun 1956, sutradara Usmar Ismail menggebrak dengan film Tiga Dara yang melejitkan nama aktris Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak. Meski sutradara dan produsernya laki-laki, napas perempuan sangat kental di film bergenre musikal ini.
Tokoh-tokohnya tidak digambarkan cengeng atau tak berdaya—sebaliknya justru sangat progresif untuk zaman itu. Film ini juga menandai kehadiran wajah-wajah indo dalam perfilman Indonesia, yang diwakili oleh Mieke Wijaya, Indriati Iskak, dan Suzanna—yang namanya melejit lewat film Asrama Dara (1958).
Namun yang patut dicatat, dunia perfilman Indonesia sudah berhasil menelurkan sutradara wanita sejak usianya masih balita. Sutradara wanita pertama Indonesia yang tercatat dalam sejarah adalah Ratna Asmara lewat film Sedap Malam (1950), yang berkisah tentang istri yang setelah ditinggal mati suaminya terpaksa menjadi pelacur. Ratna juga mendirikan perusahaan film sendiri bernama Asmara Film.
Setelah sekian lama menjadi aktris primadona, Chitra Dewi juga akhirnya terjun menjadi sutradara sekaligus produser. Pada tahun 1971, ia menyutradarai tiga film sekaligus, yaitu: Bertjinta dalam Gelap, Dara-Dara, dan Penoenggang Koeda dari Tjimande. Sayang, setelah itu namanya tenggelam begitu saja.
Sutradara wanita yang dianggap karismatis dan berwibawa adalah Sofia WD. Berpendidikan Belanda, pernah ikut bergerilya saat perang kemerdekaan dengan pangkat sersan mayor, dan pernah jadi aktris panggung, ia mengawali karier di dunia film sebagai aktris di film Air Mata Mengalir di Tjitaroem (1949).
Setelah bermain dalam puluhan film, ia naik kelas menjadi sutradara lewat film Badai Selatan (1960). Pada 1974, ia mendirikan perusahaan film bersama suaminya, aktor terkenal WD Mochtar.
Fenomena Christine Hakim
Sayangnya, sejak tahun 1971 hingga 1993, tidak tercatat lagi nama perempuan yang menjadi sutradara maupun produser, meskipun perfilman Indonesia sempat mencapai puncak produksi.
Saat itu jagat film kita didominasi oleh film remaja (mulai era Rano Karno-Yessy Gusman hingga Onky Alexander-Meriam Bellina), film laga (Barry Prima, Advent Bangun, George Rudy), film komedi slapstick (Warkop DKI), film horor (Suzanna), dan film semi esek-esek (Eva Arnaz, Sally Marcelina, Kiki Fatmala). Lima aktris dan aktor mendaulat diri sebagai The Big Five atau aktor dengan bayaran termahal di pertengahan 70-an—Yati Octavia, Yenny Rachman, Doris Callebaut, Roy Marten, dan Robby Sugara.
Di tengah hiruk-pikuk itulah hadir seorang Christine Hakim. Ditemukan oleh sutradara legendaris Teguh Karya, Christine Hakim langsung menggebrak lewat film perdananya, Cinta Pertama (1973), dan meraih Piala Citra di tahun 1974.
Selanjutnya, ia dikenal sebagai aktris pelanggan Piala Citra berkat aktingnya yang selalu cemerlang di berbagai film, antara lain Sesuatu yang Indah (1977), Pengemis dan Tukang Becak (1978), dan Di Balik Kelambu (1982). Namun yang membuat reputasinya tak tergoyahkan hingga saat ini adalah aktingnya dalam film Tjoet Nja’ Dhien (1988).
“Christine Hakim adalah sebuah fenomena yang tidak datang di setiap dekade perfilman Indonesia. Bahkan sampai kini, belum ada yang bisa menandingi dia,” ujar Nia Dinata, sutradara dan produser. Nama-nama lain seperti Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, dan belakangan Yenny Rachman, juga dikenal memiliki reputasi sebagai ‘aktris serius’.
Namun, pada periode 1991-1998, perfilman nasional mati suri, karena hanya mampu memproduksi 2-3 film setiap tahun. Munculnya stasiun TV swasta. teknologi VCD, kehadiran sinetron, serta disahkannya UU No.8 Tahun 1992 yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi film, membuat perfilman Indonesia pun knock out.