
Gaung nama besar Susi Susanti masih terdengar hingga sekarang. Menjadi staf ahli di PBSI, begini misi wanita 45 tahun ini.
Mendapat medali emas di Olimpiade Barcelona 1992 rasanya lega. Beberapa waktu sebelum Olimpiade, saya tidak mau bertemu orang karena semua orang pasti berkata, “Susi, kamu harus menang.” Waduh, bebannya. Kamu juara saat kamu berada di podium saja, begitu kata orang tua saya. Melepaskan gelar juara itu tidak gampang. Banyak yang tidak bisa melepaskan diri dari masa kejayaannya.
Banyak yang masih berpikir, “Saya juara dunia, saya tidak mau mengerjakan itu.” Itu, kan, dulu. Kalau tidak mau kerja, ya, susah. Banyak mantan atlet yang akhirnya menjadi pelatih karena mereka merasa keahliannya di situ. Tapi saya dan suami, Alan Budikusuma, ingin mencoba bidang lain. Kami sempat usaha jual-beli mobil hingga menjadi agen alat olahraga asal Jepang. Kami pergi sendiri ke pasar untuk titip menjual barang. “Nggak salah, nih, juara dunia jadi sales begini?” orang-orang berkomentar demikian. Ketika pertama kali membuka spa, saya turun tangan melayani pelanggan. Mereka sampai tidak enak sendiri dilayani oleh saya.
Masa pensiun adalah waktu yang menakutkan untuk para atlet. Dari kecil kami hanya tahu olahraga. Mendekati pensiun, muncul rasa takut, takut nanti mau jadi apa. Setelah pensiun sebagai atlet, saya harus mulai dari nol lagi. Masa transisi itu berat. Dulu ada tim yang menyiapkan segala sesuatunya untuk sang atlet. Setelah pensiun, harus menyiapkan sendiri. Kalau gelar juara itu saya bawa terus, saya tidak bisa hidup. Sekarang saya, ya, Susi.
Menyedihkan, banyak orang yang belum bisa menghargai prestasi. Saya mendengar sendiri ada pejabat pemerintah yang mengatakan, “Ngapain memberi jaminan hari tua untuk Olimpian, mereka juga nggak miskin-miskin amat.” Padahal ini adalah bentuk penghargaan. Coba saya balik, dia tidak perlu digaji, kan, sudah kaya. Apa mau?
Saya terus terang mengatakan ke Menteri Pemuda dan Olahraga, anak-anak saya tidak jadi atlet karena tidak ada jaminan. Padahal yang bisa mengibarkan bendera merah putih di dunia selain presiden adalah atlet, kalau dia juara. Ini pun jika jadi juara. Bagaimana jika tidak juara? Sementara pembinaan dan pengorbanan dari awal, semuanya dari orang tua, tidak ada campur tangan pemerintah. Juara yang sudah mengharumkan nama bangsa saja tidak mendapat perhatian pemerintah.
Ada atlet-atlet yang sudah juara dunia di Indonesia justru hidupnya memprihatinkan. Itu bukan image yang baik. Orang jadi berpikir, juara dunia saja hidupnya seperti itu. Bagaimana bisa membangkitkan prestasi dunia olahraga Indonesia jika begini terus?
Karena masalah ini, banyak atlet Indonesia yang pindah ke negara lain, lalu mereka dibilang tidak nasionalis. Saya katakana kepada orang-orang seperti itu, coba bercermin. Ketika gelar juara diraih, semua pihak merasa berkontribusi, merasa berjasa. Setelah masa itu lewat, ingat saja tidak.
Apa yang bisa kamu berikan untuk bangsa ini? Sekarang saya balik, apa yang bangsa ini berikan untuk orang-orang yang berprestasi? Memang negara bisa memberi makan keluarganya? Realistis saja, ini, kan, pekerjaan. Kok, disuruh mengabdi terus.
Ciputra mengajari saya cara berinvestasi, berupa tanah. Di usia 14 tahun saya pindah dari Tasikmalaya, Jawa Barat, ke Klub Jaya Raya pimpinan Ciputra. Ketika saya juara, ia memberi bonus berupa tanah. Saya juara lagi, bonusnya adalah tanah saya dibangun menjadi rumah.
Sekarang saya menjadi staf ahli di Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Saya berharap bisa membawa perubahan. Selain memperbaiki masalah kontrak dan pembinaan, saya rasa atlet perlu pembinaan di luar hal-hal keatletan agar mereka siap saat pensiun nanti, seperti mengatur keuangan. Kuncinya satu, kita harus mau belajar agar bisa berkembang.
[Baca juga satu hal yang bikin khawatir Shanty Paredes]
Foto: Denny Herliyanso
Pengarah gaya: Erin Metasari