Bicara fashion Tanah Air, nama Susan Budiharjo, 66, pasti tak terpisahkan. Pendiri sekolah mode pertama di Tanah Air itu bicara soal tantangan dunia fashion saat ini, dan serunya bekerja bersama orang-orang muda.
Fashion bukanlah cita-cita pertama. Sewaktu kecil, anak-anak zaman itu dididik untuk jadi arsitek atau dokter. Jadi, saat itu memang tidak terpikir menjadi fashion designer. Di era itu pun Indonesia belum terlalu kenal dengan fashion. Wadah untuk terjun ke sana juga belum ada. Fashion hanya sebatas di lingkungan pribadi dan pertemanan. Tetapi, belakangan saya justru menyadari bahwa kesukaan terhadap fashion-lah yang tetap bertahan. Kesukaankesukaan saya yang lain, seperti pada musik, malah hanya dilakukan setengah-setengah. Saya selalu ingin tahu tentang tren terbaru dan suka mencoba-coba.
Saya berasal dari keluarga yang selalu mendorong anak-anak untuk bersekolah, termasuk soal fashion. Jadilah saat itu saya belajar di Akademi Seni Rupa dan Desain (Asride)-ISWI. Setelah itu saya lanjut belajar ke luar negeri. Keinginan saya hanya belajar. Dengan belajar, saya mendapat ilmu dan fondasi yang cukup kuat.
Awalnya saya belajar di Jerman, tetapi merasa kurang cocok. Dunia fashion di Jerman saat itu sama seperti orang-orangnya, kaku. Pembelajaran di sana lebih ke soal teknik, sementara yang saya perlukan adalah pengembangan. Kebetulan, waktu itu kota fashion terdekat adalah London. Saya pun pindah ke sana. Ketika itu barulah terpikir, apa yang bisa saya mulai di Indonesia? Saya pun memutuskan berkomitmen di pendidikan.
[Baca kisah Maria Oentoe, pengisi suara legendaris bioskop 21, di sini]
Ketika memutuskan bikin sekolah mode, banyak teman menertawakan saya. Menurut mereka, untuk apa sekolah jauh-jauh lalu pulang cuma untuk mengajari orang? Dan, seperti apa masa depan sebagai guru? Bagaimanapun, saya tetap ngotot. Saya merasa tertarik dan enjoy saat bersekolah. Lagi pula, belum ada sekolah mode di Indonesia.
Suasana dan lingkungan kota memang memiliki pengaruh terhadap fashion. Belajar fashion di kota dan belajar di kampung, misalnya, tentu akan berbeda. Teknologinya berbeda, begitu pula dengan mata kita. Mata seseorang akan melihat kondisi di sekitarnya, dan dari situ, bisa menilai kebutuhan orang-orang di lingkungan itu.
Kita tetap perlu menaruh perhatian pada tren global. Lingkungan dan tren memang akan selalu berkaitan. Jika kita hanya melihat apa yang ada di sekitar, kita akan stuck dan tidak berkembang.
Dengan mengetahui tren, paling tidak kita menjadi selangkah lebih maju. Dibandingkan zaman dulu, tantangan para desainer saat ini sangat berat. Dulu, mindset orang lebih ke busana couture dan personal. Saat ini, orang beralih ke desain ready-to-wear. Couture tak akan hilang, tetapi ready-to-wear adalah masa depan. Semua bersaing ketat di sana. Dulu, dengan modal dua mesin jahit dan koneksi, seseorang bisa bertahan. Sekarang, belum tentu. Agar sukses, mereka mesti punya tim dengan teamwork yang kuat.
Kuncinya adalah kreativitas. Jika ingin bertahan, dalam apa pun, kita mesti peka terhadap situasi. Kita juga mesti berani adu cepat. Tanyakan selalu kepada diri sendiri, apa, sih, yang belum orang pakai? Apa yang kira-kira bisa diterima masyarakat dan booming? Banyak orang ingin go international. Untuk bisa go international, jangan cuma memikirkan kreativitas, tetapi juga kualitas. Tuntutan dari luar negeri berat sekali, terutama soal quality control. Sedikit saja barang yang kita tawarkan tidak sesuai ekspektasi, bisa ditolak. Ujungnya, bukannya untung malah buntung. Namun, upaya itu mesti terus dicoba.
Filosofi saya adalah selalu mencoba untuk up-to-date. Saya tidak mau berkreasi sesuai dengan usia saya yang terus bertambah. Sebaliknya, saya sangat senang bekerja dengan anak-anak muda. Karena banyak bergaul dengan mereka, kreasi saya pun selalu ‘mundur’ dari usia. Begitu pula dalam berpakaian. Melihat cara saya berpakaian, terkadang ada saja orang yang bilang saya tidak tahu diri. Saya sendiri tidak ambil pusing dengan itu. Selama saya enjoy dengan diri saya dan merasa baikbaik saja di depan cermin, saya akan pakai. Fashion itu berasal dari dalam diri kita. Selama itu membuat Anda percaya diri, it’s OK
Foto: Dachri Megantara