Linda Gumelar pernah menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kini, ia adalah Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia. Ia bicara tentang takdir yang mendekatkannya pada masalah perempuan.
Pada 1996, saya terkena kanker payudara. Awalnya saya periksa karena akan pergi haji. Ada benjolan saat meraba payudara. Setelah diperiksa dokter, nyawa saya diprediksi tinggal 40%. Saya pergi berobat ke Rotterdam, Belanda. Setelah dibiopsi, kanker saya terdeteksi ganas tapi masih stadium 0. Saya tidak sampai di kemoterapi, juga tidak diradiasi. Saya merasa bersyukur sekali. Mungkin saya memang sudah ditugaskan Tuhan untuk bekerja memerangi kanker payudara.
Saya pernah janji pada diri saya sendiri dan pada Allah SWT. Kalau diberi kesembuhan, saya ingin melakukan apa saja supaya tidak ada lagi orang yang bernasib seperti saya. Setelah dinyatakan bebas kanker pada 2001, saya mendirikan Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta—yang kemudian berubah menjadi Yayasan Kanker Payudara Indonesia. Ketika itu, posisi saya sebagai Pendiri dan Pembina. Sejak 2014, saya menjadi Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia. Visi kami adalah Indonesia bebas kanker payudara stadium lanjut pada 2030.
Pada 2009, saya diminta menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Begitu saya menjadi menteri, saya melihat bahwa kanker payudara belum tersosialisasi dengan baik. Banyak juga persoalan pada wanita dan anak yang berakar dari mindset masyarakat. Mereka menjadi korban kekerasan fisik maupun psikologis. Banyak orang tua, terutama di kalangan kurang mampu, masih membedakan perlakuan kepada anak perempuan dan laki-laki.
Anak laki-laki disekolahkan, sedangkan anak perempuan disuruh bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Sebetulnya perempuan juga harus diberikan hak yang sama. Waktu saya menjadi menteri, kasus JIS mencuat. Pada akhir kepemimpinan saya di 2014, saya bekerja dengan DPR untuk menyempurnakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Di undang-undang itu, kami ubah istilah kekerasan seksual menjadi kejahatan seksual.
Di situ juga ditambahkan soal otonomi daerah. Jadi, tanggung jawab bukan hanya milik pemerintah pusat, tetapi ada peranan pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota. Denda pelaku yang tadinya hanya ratusan ribu diubah menjadi Rp1 miliar. Jika si pelaku tidak mampu membayar, hukuman akan ditambah. Di undang-undang itu kami tambahkan, bukan hanya korban yang disembuhkan, tapi juga pelaku yang memiliki kelainan pedofilia.
Maraknya pelecehan anak ini saya pikir karena kemajuan teknologi. Pertahanan keluarga menjadi kunci perlindungan anak. Orang tua harus paham menggunakan teknologi. Begitu juga dengan para guru di sekolah. Bicara soal perkawinan anak, sebetulnya saya sangat menyayangkan. Mereka, kan, masih jauh perjalanannya. Mereka seharusnya masih bisa bersekolah.
Saya kurang setuju dengan alasan menikah karena takut terjadi zina. Seharusnya, kita berikan pelajaran agama bahwa tidak boleh berzina. Mereka bisa diberi pengertian bahwa hubungan suami istri baru boleh terjadi setelah sudah menikah. Membiarkan mereka menikah menurut saya adalah cara instan yang tidak bertanggung jawab. Imbasnya banyak sekali. Yang pertama, ia belum siap menjadi istri, belum bisa bermitra dengan suami. Kedua, kesehatan reproduksinya belum siap untuk hamil. Yang ketiga, mereka belum berdaya secara ekomoni. Ketidakmandirian ekonomi ini membuat mereka sangat bergantung pada suami. Ia jadi tidak bisa melakukan apa-apa saat ada KDRT, dimadu, atau ditinggal oleh suami.
Perempuan Indonesia harus cerdas. Cerdas artinya ia mau bersekolah. Cerdas juga dalam memilih laki-laki yang pas untuk dijadikan suami. Juga harus cerdas menentukan, apakah ia sudah siap menikah? Dan tentunya, cerdas dalam berumah tangga kelak. Perempuan harus tahu bagaimana mengurus anggaran rumah tangga dan mengatur kesenangannya berbelanja. Jika seorang perempuan menjadi seorang ibu yang cerdas, maka ia akan melahirkan generasi yang cerdas pula.
Foto: Koleksi Pribadi