
Menjalani usaha keluarga bukan berarti harus mengubur passion pribadi. Dengan visi dan strategi yang tepat, kesempatan emas pun tak akan terlewati.
Badan saya bergerak seirama, kiri, kanan, kiri, kanan. Tangan saya berpegang erat pada balok kayu pengaman pada bagian depan kursi. Pemandangan dari ketinggian seperti ini baru untuk saya. Apalagi sambil bergerak-gerak seperti ini. Tiba-tiba, tumpangan saya mulai menapak turun masuk ke danau, sambil sesekali menyemprotkan air ke atas. Orang di samping saya menyorongkan sebuah harmonika. Dan Jesika pun memainkan beberapa nada. Saya takjub. Ini pertama kalinya saya melihat gajah bermain harmonika. Ya, tumpangan saya, Jesika, adalah seekor gajah.
Sungguh pengalaman 30 menit yang tak terlupakan, ketika saya dan teman saya Fiqi berkunjung ke True Balinese Experience (TBE), yang terletak di area Bali Utara—tepatnya di Desa Carangsari, Petang, Badung, Bali. Untuk pertama kalinya kami duduk di atas punggung Jesika, gajah berusia satu tahun.
Suasana area wisata seluas 16 hektar ini terasa sangat asli, khas alam Bali dengan lansekap tertata cantik serta beragam jenis pepohonan yang menaungi. Pagi itu saya memiliki janji bertemu Managing Director TBE, seorang wanita Bali cantik bernama I Gusti Ayu Agung Inda Trimafo Yudha, yang akrab dipanggil Inda.
Berawal dari keinginan untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam usaha pelestarian satwa Indonesia, TBE yang pada saat itu telah berdiri sekitar sembilan tahun berjuang untuk mendapatkan lisensi konservasi. Hingga pada akhirnya lisensi itu mereka dapatkan di tahun 2004 dengan memenuhi beberapa persyaratan penting, di antaranya memiliki area kepemilikan yang cukup luas, mempekerjakan karyawan dengan jumlah cukup besar (kini mencapai 400 orang), serta dianggap mampu membangun fasilitas yang layak. Hingga kini Bali Elephant Camp menjadi menu wisata favorit di TBE.
Gajah-gajah yang ada di sini didatangkan dari Lampung dan Riau. Pawang gajah juga didatangkan dari Lampung. Mereka awalnya pegawai honorer dari badan konservasi setempat, namun akhirnya menetap di Bali dan bekerja sebagai pawang di sini. “Selama 30 menit naik gajah, kita bisa melintasi area sawah, melihat perkebunan, puncak Gunung Agung dari sela pepohonan, dan juga monyet-monyet. Ada pula burung tukan (toucan) yang termasuk satwa dalam area konservasi,” jelas Inda sambil membelai belalai gajah yang kebetulan melintas di dekat kami.
Untuk mengelola TBE, Inda memupuk bekal yang tidak tanggung-tanggung. Wanita berperawakan mungil ini menimba ilmu pendidikan Manajemen Perhotelan di International College of Hotel Management (ICHM), Adelaide, Australia. Gemblengan empat tahun sekolah perhotelan, dengan kombinasi enam bulan sekolah dan enam bulan berikutnya kerja praktik, memberikan pandangan yang berbeda akan ilmu servis yang sebenarnya. Masa-masa menjadi housekeeping, kerja di kedai kopi kecil, menjadi banquet waitress di Hotel Regent (sekarang Four Seasons), Sydney, hingga menjadi controlling supervisor, pernah dicobanya.
“Keluarga saya tidak memiliki pengalaman pariwisata sebelumnya. Pariwisata itu, kan, intinya memberikan servis kepada orang lain. Nah, kami sebenarnya bukan service people. Apalagi kami terlahir di kampung sini dari keluarga yang biasanya diservis orang lain,” kata Inda. Ini menjadi tantagan baginya. Inda memahami betul karakter kebanyakan masyarakat Bali yang terlahir dalam royal family. “Mereka punya pemikiran kalau dunia ini selalu memberikan apa pun untuk mereka. Kadar kompetitifnya jadi tidak ada, malas menimba ilmu, selalu minta dilayani. Tapi zaman sudah berubah,” jelas Inda, yang akhirnya memilih untuk kembali ke Bali membawa ilmunya.
True Balinese Experience berawal dari sebidang tanah. Sedikit demi sedikit dibeli oleh keluarga Inda sejak tahun 1993. Ketika itu ayah Inda, seorang politikus senior, membuka area ini dengan maksud untuk mengembalikannya ke fungsi asal, sebagai perkebunan dan tambak. Namun lokasi lahan yang berdekatan dengan Sungai Ayung membuat sang ayah memiliki ide untuk membangun sarana rafting. Ayung River Rafting pun dibuka tahun 1995 dan cukup menjadi primadona pariwisata Bali pada masa itu. Ini adalah rafting pertama yang dimiliki oleh orang asli Bali.
Ketika kembali ke Indonesia pada 1999 dan mulai mengelola usaha ayahnya, Inda dihadapkan pada masalah. “Rafting kami yang awalnya sangat booming, saat saya kembali rasanya seperti dead town, mulai tidak terurus,” ceritanya. Inda menemukan kelemahannya. Salah perhitungan dalam bidang finansial mengakibatkan kurangnya kinerja marketing. Akibatnya, operasional pun tersendat yang kemudian berdampak pada sisi marketing lagi. tidak masuk (perhitungan),” jelas Inda.
Ibarat mengurai benang kusut, Inda mulai melakukan pendekatan personal untuk menyelesaikan masalah keterpurukan perusahaan saat itu. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengangkat rasa percaya diri para karyawannya, agar mereka bangga kerja di sana walaupun dalam kondisi bukan yang terbaik. Inda sadar bahwa saat perusahaan jatuh, otomatis para pekerjanya jadi tidak produktif. Cukup berat bagi seorang wanita Bali untuk dipercaya langsung pada saat itu.
Komunikasi bisa menjadi solusi, namun bisa juga menjadi kendala. Inda sangat percaya pada sistem pendelegasian. Dengan memberikan kepercayaan kepada orang lain, dan menempatkan mereka pada posisi yang tepat, maka kinerja optimal akan dihasilkan. Pada momen seperti itu, ia tetap mengontrol dan memberi masukan. Rafting yang terpuruk kemudian bangkit kembali dengan nama baru, Bali White Water Rafting. Seluruh karyawan diberikan pelajaran Bahasa Inggris, juga pelatihan etiket. Khususnya untuk rafting guide, beberapa bahasa asing lainnya juga diajarkan. “Safety itu harus diutamakan pada saat rafting. Kendala bahasa tidak boleh ada,” kata Inda.
Tahun berikutnya, Inda memperluas menu wisatanya dengan membuka jalur bersepeda, Carangsari Village Cycling. Bersepeda sambil mengintip kehidupan masyarakat pedesaan memberi pengalaman unik bagi wisatawan. Jalur sepeda juga melintasi monumen I Gusti Ngurah Rai, pahlawan nasional Bali kelahiran Carangsari, yang juga kakek Inda. Inda kemudian menambahkan menu Rain Forest & Village Trekking dan melakukan ekspansi ke Pantai Saba Gianyar dengan wisata berkuda di pesisir pantai, atau Bali Horse Riding pada tahun 2001.
Servis terbaru di tempat ini adalah Pod Chocolate Factory milik suami Inda, Tobias Garritt, yang berdiri sejak tahun 2013. Hingga saat ini, mereka memproduksi cokelat murni batangan, praline, cokelat dengan beragam rasa kolaborasi—dari buah-buahan hingga rempah, minuman spesial, kue, dan juga menu lainnya. “Dengan adanya Pod, kami bisa membina petani-petani lokal, khususnya petani cokelat di sekitar sini,” ujar Inda. Selain kafe dengan menu khusus cokelat, di TBE ditambah satu lagi menu wisata, Pod Chocolate Tour.
Lima jam sisa waktu sebelum jadwal kepulangan saya ke Jakarta saya gunakan dengan mencoba rafting. Jarak rafting sejauh sembilan kilometer saya lalui dalam dua jam. Pemandangan indah hutan liar, air terjun, mata air yang mengucur dari dinding batu, serta arus pada Sungai Ayung melengkapi wisata saya.
Foto: Galih Hastosa
Pengarah visual: Erin Metasari