Di masa lalu, Pokhara merupakan rute penting bagi perdagangan antara Cina dan India. Pada abad ke-17, Pokhara merupakan bagian dari Kerajaan Kaski, yang berada di bawah pemerintahan Chaubise Rajya yang menguasai 24 kerajaan di Nepal.
Meskipun secara fisik penduduk Pokhara (juga penduduk Nepal pada umumnya) berparas campuran antara India dan Cina, tradisi Hindu India tampaknya lebih mendominasi. Hal itu sangat terlihat dalam Festival Holi yang saya saksikan di Pokhara—festival ini juga diselenggarakan di kota-kota lain di Nepal. Holi adalah festival musim semi yang dirayakan di India dan Nepal.
Holi sering pula disebut sebagai festival warna-warni atau festival cinta, karena intinya merayakan kemenangan kekuatan baik terhadap kekuatan jahat. Dan karena muda-mudi saling bertemu di festival ini, banyak yang kemudian menemukan jodohnya di sini.
Yang unik dari festival ini adalah warga saling melempar serbuk warna-warni di jalanan. Mereka juga melempar serbuk kepada siapa saja, termasuk para wisatawan yang dengan senang hati ikut bergabung, sehingga wajah, tubuh, rambut, serta pakaian mereka jadi belang-bonteng. Karena kaki saya sedang sakit, saya memilih untuk menyaksikan kemeriahan itu dari dalam mobil saja.
Seperti diceritakan sebelumnya, untuk menghibur saya yang gagal pergi trekking, saya diajak ke Bukit Sarangkot. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali dari hotel agar bisa mengejar matahari terbit di puncak bukit ini. Meskipun tetap harus melakukan trekking, jalurnya tak seberat jalur menuju Ghorepani Poon Hill. Energi positif pagi hari membuat saya berangkat penuh semangat.
Meskipun hari masih gelap, cuaca terlihat cerah, tanpa hujan dan kabut. Perjalanan menuju Bukit Sarangkot ditempuh dengan mobil selama satu jam, dilanjutkan dengan menaiki 250 anak tangga untuk mencapai ketinggian 1.600 meter. Di sinilah—di sebuah area terbuka yang masih sangat alami—kita bisa mendapatkan tempat terbaik untuk menikmati pemandangan matahari terbit yang terindah.
Angin sepoi-sepoi segar dan awan-awan yang bergerak lincah di bawah sana sungguh merupakan pemandangan yang sangat menakjubkan, sementara matahari pagi perlahan-lahan menampakkan diri dari sisi timur. Meski di pagi buta, ternyata banyak wisatawan dan penduduk setempat ikut memadati puncak bukit.
Dengan kamera masing-masing, mereka sibuk mencari sudut terbaik untuk mengabadikan munculnya matahari sekaligus panorama Annapurna Range. Saya tak puas-puasnya menikmati pemandangan matahari terbit di antara puncak-puncak gunung bersalju spektakuler itu.
Tidak jauh dari sini, di hari lain kami berdua juga nekat mencoba salah satu kegiatan yang menantang adrenalin, yaitu paragliding. Ah, rupanya bukan hanya kami yang tertantang. Tak sedikit wisatawan lain yang berminat menguji adrenalin dengan meluncur menuruni bukit hingga ke sisi danau dengan parasut.
Walaupun sudah berkali-kali diyakinkan bahwa kegiatan ini sangat aman karena kami akan ditemani secara tandem oleh pilot-pilot berpengalaman, tak urung hati saya kebat-kebit. Maklum, ini kali pertama saya mencoba paragliding.
Melayang-melayang di udara selama 30 menit itu ternyata sangat menyenangkan, karena dikendalikan menurut arah angin dan ketinggian. Dengan biaya sekitar 100 dolar AS per orang, kami dijemput naik minibus dari hotel menuju lokasi bukit.
Pilot juga menyiapkan semua peralatan terbang plus kamera GoPro untuk memotret dan merekam kami dengan video. Kami tinggal duduk santai seperti main ayunan di udara di ketinggian sambil menikmati pemandangan bukit hijau dan danau berair biru jernih, serta payung-payung peserta paragliding lain yang berwarna-warni.
Kegiatan ini juga dapat dilakukan di musim dingin. Bahkan katanya, justru musim dingin merupakan saat terbaik untuk main paragliding di Pokhara.
World Peace Pagoda adalah objek selanjutnya yang saya datangi. Ini adalah sebuah stupa lambang perdamaian dunia yang dibangun oleh Pemerintah Jepang. Untuk mencapai tempat ibadah umat Buddha yang terletak di atas bukit ini, kita bisa menggunakan perahu melewati danau, atau berjalan kaki. Dari kaki bukit, diperlukan waktu 20 sampai 30 menit berjalan kaki dan menaiki anak tangga.
Tapi perjuangan Anda tak bakal sia-sia, karena pemandangan di sepanjang perjalanan sangat memukau. Jika lelah berjalan, kita bisa bersantai sejenak di warung kopi. Di Elite Café kami beristirahat dan berlehaleha sambil menikmati santap siang dengan pemandangan Kota Pokhara dari atas bukit.
Kuliner di Pokhara lumayan cocok di lidah saya. Makanan yang paling terkenal di sini namanya Momo, mirip pangsit atau kotie, dan rasanya seperti hidangan Cina. Kabarnya, hampir semua wisatawan yang datang ke Nepal pasti menyempatkan diri mencicipi Momo. Atau bisa juga mencicipi hidangan khas Tibet yang banyak dijual di sini. Harganya pun terhitung murah.
Traveling tentu belum sempurna kalau tidak beli oleh-oleh. Yang sering dijadikan cendera mata dari Pokhara adalah berbagai jenis daun teh dari perkebunan teh yang ditanam di kaki Pegunungan Himalaya. Ada pula tas-tas kerajinan dari kain tenun. Tampaknya tak perlu menawar lagi, karena harganya sudah murah. Mata uang yang digunakan di sini adalah Nepalese Rupee.
Tiga hari di Pokhara mungkin terlalu singkat, tapi tetaplah mengesankan, terutama bagi kami yang memang ingin rehat sejenak dari ingar-bingar kota besar yang berisik dan serba bergegas. Di Pokhara, kedamaian itu bisa saya temukan—walau hanya sementara.
Foto: Maria Sukrisman