Mengembangkan desa adalah sesuatu yang sangat mungkin. Diawali dengan pengadaan aliran listrik lalu diikuti alat-alat produksi.
“Warga kemudian bisa memproduksi sesuatu seperti minyak sereh, bisa roasting kopi dengan merata karena temperaturnya bisa diatur. Kemudian pendapatan mereka akan meningkat,” Puni mencontohkan. Jika ini terjadi, bisa jadi tingkat urbanisasi pun akan menurun.
Jalan Puni masih panjang. Saat ini, masih ada sekitar 30 ribu desa yang belum memiliki aliran listrik. “Tapi sekarang sudah banyak anak-anak muda cerdas yang bisa meneruskan apa yang dulu saya kerjakan,” ujarnya.
Ia ingin fokus pada penyebaran ilmu sebanyak mungkin. Ketika Dewi menemuinya, ia baru saja kembali dari pelatihan tentang energi terbarukan untuk anak-anak SMA.
“Jadi ketika mereka menjadi pejabat nanti, mereka paham akan renewable energy,” begitu harapan Puni.
Sekarang, Puni mengaku lebih relaks. “Dulu inginnya cepat. Kalau ada orang lelet, saya marah karena kita ditunggu banyak orang,” ia bercerita.
Puni tetap berusaha secara maksimal sesuai dengan kapasitasnya, namun soal hasil, ia sudah berserah pada Yang Maha Kuasa.
“Sekarang saya juga berusaha untuk lepas dari hal-hal duniawi,” ujarnya lagi. Berat, namun itulah proses yang harus dijalani.
Puni ingat nasihat ayahnya, hidup itu harus berbagi. Ayahnya mengatakan hal tersebut setelah Puni kecil mengeluh harus pindah dan berbagi kamar dengan adiknya.
“Kata ayah saya, kalau kita berbagi, at the end of the day, kita akan senang melihat hasil yang dicapai oleh orang itu”.
Lain lagi dengan nasihat ibunya, hidup kalau bisa memberi. Kalau tidak punya uang, berikan tenagamu, pikiranmu. Nasihat kedua orang tuanya selalu ia ingat dan ia terapkan dalam kehidupan.
Ia menyimpulkan kedua nasihat itu menjadi selalu berbuat baik. “Bahkan ketika bertemu dengan orang jahat. Biarkan mekanisme alam yang mengatur. Itu urusan Tuhan,” ujarnya.
Puni percaya, dengan berbuat baik, hal-hal baik pun akan mengikuti kehidupannya. Rasa cinta Puni untuk desa tertular pada anak-anaknya.
Anaknya yang kedua, Asri, memutuskan untuk tinggal di desa dan mengembangkan ekstraksi empon-empon dan pangan sehat. Sementara anak bungsunya, Rahman, sudah memutuskan menjadi petani di usia 13 tahun.
“Ia bilang ia tidak mau menjadi engineer karena sudah terlalu banyak engineer di rumah ini,” ujar Puni sambil tertawa. Hanya putri sulungnya, Ayu, yang masih tinggal di kota.
Dulu, Puni tidak pernah bermimpi bisa dijamu oleh pemimpin dunia dan tokoh-tokoh penting seperti Presiden AS Barack Obama dan Pangeran Charles dari Inggris.
Kerja keras yang ia lakukan selama ini pun bukan semata-mata untuk mendapat penghargaan. Namun, dunia pun mengakuinya. Di tahun 2012, Puni dianugerahi Ashden Award, penghargaan untuk karya terbaik dalam energi terbarukan dari seluruh dunia.
“Real happiness adalah ketika suatu desa menjadi terang benderang dari gelap gulita. Melihat ekspresi dan mendengar pekik syukur mereka, itulah kebahagiaan hakiki,” ujarnya.
Namun jika ditanya hal yang paling membahagiakannya saat ini, ia menjawab tanpa ragu, “Kalau sedang bersama cucu,” Rapat pun bisa ia tunda jika rasa rindu sudah tak tertahankan. ”Mereka memang hiburan dari Tuhan yang tak terkira,” ujarnya menutup perbincangan.
Foto: Denny Herliyanso
Artikel ini dimuat di Majalah Dewi edisi November 2018
Klik dewimagazine.com untuk artikel profil, gaya hidup, dan fashion lainnya