Tri Mumpuni mencoba mengembalikan pembangunan seperti semestinya dengan caranya sendiri.
Kita mengenal ada lima modal yang diperlukan dalam proses pembangunan. Sumber daya manusia, alam, sosial, spiritual, dan yang terakhir, pendanaan. Celakanya, secara global, financial capital seringkali dianggap sebagai modal pembangunan yang utama.
Karena itu, ia pun mencoba caranya sendiri.
Nama Tri Mumpuni identik dengan desa, khususnya listrik pedesaan. Sesuatu yang wajar melekat di namanya, mengingat ia dan suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji, telah membantu menghadirkan listrik ke 82 desa di seluruh Indonesia melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka).
Puni, panggilan akrabnya, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum atau sulit terjangkau oleh PT PLN dengan memanfaatkan potensi energi air yang terdapat di lokasi setempat untuk menggerakkan turbin.
Dalam kehidupannya, Puni selalu berinteraksi dengan desa. Berkunjung ke rumah saudara, sebagai destinasi liburan, bahkan melalui mata kuliahnya ketika kuliah di Institut Pertanian Bogor dulu.
Puni pertama kali jatuh cinta pada pedesaan saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu, salah satu program kelas empat adalah piknik di lereng gunung Ungaran, Jawa Tengah.
“Kami pergi naik truk, mandi di sungai,” ia bercerita. “Kami jalan-jalan melewati rumah-rumah warga. Melihat mereka membakar singkong. Rumah mereka sederhana sekali, lantainya ada yang masih tanah.”
Namun di usia yang masih sangat muda itu, Puni telah merasakan betapa tulusnya ekspresi kebahagiaan warga desa yang membuatnya terkesima dan tak terlupakan.
Puni punya mimpi yang besar untuk desa-desa di Indonesia yang tentunya membutuhkan energi dan sumber daya yang tak kalah besarnya. Saat ini, ia sedang konsentrasi untuk membangun Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sudah ada dua pembangkit di sana, yang lokasinya luar biasa tidak masuk akal.
“Bicara soal mikrohidro, sebagian besar sumbernya akan sangat jauh dari permukiman,” ujarnya.
Untuk membangun pembangkit di Sumba, timnya harus memotong bukit sepanjang 2,6 kilometer untuk bisa mengangkut hampir satu ton alat berat. Ini semua dilakukannya bersama-sama dengan masyarakat karena ada passion yang sama.
“Kami membangun modal sosial karena ini tidak ada uangnya,” begitu ia berkata.
Masyarakat harus diberikan kepercayaan dan diajarkan untuk membangun dirinya sendiri dengan membuat mereka sadar akan potensi diri sendiri, ini pendapat Puni. Dengan begitu, pembangunan akan berjalan secara otomatis.
Setelah mengembangkan potensi, fasilitasi warga desa dalam bentuk pelatihan. Dengan proses itu, teknologi terbaik dapat ‘diturunkan’ sesuai dengan kemampuan rakyat sehingga mereka bisa mandiri ketika ditinggalkan.
“Menurut saya, pemerintah tidak pernah memberi kepercayaan ke rakyat. Buktinya, proyek selalu diberikan ke pihak ketiga melalui tender. Bahkan untuk proyek kecil,” ujarnya.
Dengan begitu, dana yang diperlukan menjadi membengkak. Padahal, itu semua bisa dicapai dengan cara rakyat bergotong-royong. Belum lagi jika ada kerusakan, warga hanya bisa berdiam diri menunggu perbaikan datang.
“Saya melihat desa seperti sumber kehidupan,” ujar Puni. Hidup di desa juga lebih sehat, begitu menurutnya, udaranya bersih, sumber makanan organik dengan mudah didapat. Desa hanya masalah geografis.
Ia pernah mengunjungi sebuah desa di pinggir Kota Jenewa, Swiss. Di sana adalah sekolah dan rumah sakit yang bagus. Fasilitasnya sama dengan yang kita temui di kota, tetapi tetap seperti pedesaan, jarak antar rumah berjauhan. “Kalau di Eropa dan Amerika bisa, mengapa kita tidak bisa?”
Puni telah mempersiapkan rumah di daerah Ciater, Jawa Barat, untuk ia diami ketika pensiun. Rencananya, ia akan tinggal di sana di usia 45 tahun. Tapi sembilan tahun berlalu ia mengaku belum bisa sepenuhnya meninggalkan Jakarta.
“Banyak hal yang harus diselesaikan di ibukota. Terutama jika bicara soal kebijakan, pembuat keputusan masih orang-orang Jakarta. Jadi mau tak mau, masih harus tinggal di sini dan kembali ke desa di akhir pekan,” ujarnya.
Apalagi keinginan dan mimpi Tri Mumpuni dalam membangun desa?