Bukan hanya pelatihan dan ketersediaan bahan baku kerajinan yang menjadi masalah di sana, melainkan juga isu lingkungan terkait kawasan hidrologis gambut tempat purun tumbuh. Perkaranya, menurut Syarifudin Gusar dari Jaringan Masyarakat Gambut (JMG) Sumatra Selatan, kini lahan gambut yang ditumbuhi purun menyempit. Ada banyak konsesi yang mengizinkan perusahaan menanam sawit di atas lahan gambut. Padahal, menurut Gusar, sawit yang banyak menyerap air tak cocok ditanam di atas lahan gambut.
JMG sendiri adalah serikat warga yang kegiatannya berfokus untuk mempertahankan dan memulihkan kawasan gambut agar tak hilang dan terbakar. Tiap tahun, sebelum Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk secara resmi oleh pemerintah di Kabinet Kerja, JMG mengadakan pertemuan bersama Masyarakat Gambut Nasional di Palangkaraya. Anggota perkumpulan ini sendiri terdiri atas JMG enam provinsi, yaitu dari Jambi, Sumatra Selatan, Riau, Aceh, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Pertengahan Januari 2016, Presiden Jokowi mengumumkan pembentukan BRG dan memercayakan kepemimpinannya kepada mantan Direktur Konservasi WWF, Nazir Foead. Tugas BRG adalah mengoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut di berbagai daerah. BRG juga menempatkan seorang dinamisator sebagai perwakilan BRG di tiap daerah dengan kawasan gambut.
BRG pun menggandeng JMG setempat. Mereka juga bekerja sama dalam program pengembangan lahan gambut berbasis masyarakat, salah satunya adalah yang sedang berproses di Desa Menang Raya ini.
“Ada dua perusahaan yang mendapatkan izin memasuki lahan lebak purun, tapi perusahaan tersebut tidak menggarapnya keseluruhan,” jelas Gusar. Di sini ia menekankan perlunya dukungan pemerintah daerah agar perusahaan-perusahaan yang mendapat izin konsesi tak hanya memberi pernyataan secara lisan, tapi komitmen tertulis yang dilindungi paying hukum. “Biarlah lahan gambut yang ditumbuhi purun itu lestari dengan sendirinya. Jadi perusahaan itu bisa stop di situ.”
Di Hari Ibu tahun ini, para perempuan perambak purun di Desa Menang Raya bisa jadi menjalani aktivitas mereka seperti biasa. Bisa jadi juga, dalam hati mereka gelisah, kalau-kalau lahan gambut tempat purun tumbuh makin terkikis dan hilang. Bukan cuma penghasilan mereka yang hilang, tapi tradisi lama yang diwariskan turun-temurun pun bisa hilang ditelan jaman. Belum lagi, mereka masih harus menghadapi dampak lingkungan yang mengganas jika mimpi buruk itu benar-benar terjadi.
Adanya purun yang tumbuh di lahan gambut berfungsi menahan air agar tak membanjiri wilayah sekitarnya. Lahan gambut yang mudah terbakar pun terlindungi, karena ketika kemarau datang dan gesekan pohon membakar, purun bisa melindungi kawasan hidrologis gambut ini. Berkali-kali saya diberitahu, kata mereka, ketika api membakar, Cuma akan menyambar bagian atas purun, dan tak menembus jauh ke lapisan tanah gambut. “Itu pun purun masih bisa tumbuh lagi. Itu hebatnya purun,” ujar Gusar bangga.
JMG sendiri membuat posko kebakaran hutan yang mengawasi terjadinya kebakaran di kawasan hidrologis gambut. Berkat upaya bersama ini, ia bersyukur, sepanjang tahun 2016 tak ada titik api di seluruh lahan gambut, baik yang ditumbuhi purun maupun tidak, yang masuk wilayah keamatan pedamaran.
Kembali ke masalah perempuan dan purun, Gusar pun menegaskan sembari berkomitmen. Katanya “Ke depannya kami berharap benar pada Badan Restorasi Gambut tentang programnya yang lebih nyata. Sementara itu, kami, JMG, bersama pemerintah daerah itu akan tetap menjaga dan mempertahankan lahan gambut yang masih tersisa,”
Foto: Wildan Indrawan