Sejak dulu, sewaktu masih banyak lahan gambut tempat tumbuh purun, perempuan di daerah ini sudah merambak dengan terampil. Ibu dari Sumaini pun melakukan kegiatan yang sama setiap harinya, sembari mengurus rumah di siang hari. Begitu juga dengan ibunda sang ibu, hingga terus ke perempuan-perempuan pendahulunya.
Harga jual selembar tikar purun sekitar Rp25.000-Rp60.000. Dengan jumlah itu, Komala Sari, perajin purun lainnya, mengaku sudah bisa ‘menukar’-nya dengan kebutuhan pokok sehari-hari. “Bisa untuk beli ikan, beras, dan sayur, karena di sini harga sayur seikat masih murah sekali,” katanya, yang kemudian diiyakan Sumaini.
Meski dirasa cukup, Komala Sari, Sumaini, dan perempuan perajin purun lainnya tak mau puas dengan keterampilan mereka. “Inginnya kami ini bisa diajarkan membuat barang selain tikar. Supaya kami ini bisa maju,” ucapnya berharap.
Saat ini, baru keluarga Mastuti saja yang terampil mengolah purun menjadi sandal dan kerajinan tas, yang hanya dibuat ketika ada pesanan. Sayangnya belum ada upaya terpadu untuk menyebarluaskan keterampilan mengolah purun menjadi barang kerajinan selain tikar ini. Tak selesai sampai di situ, perkara bahan pendukung juga masih menjadi masalah.
Nurlela, anak perempuan Mastuti, menuturkan tentang hal ini, katanya “Ibu dulu ikut pelatihan di Bandung, jadi bisa buat sandal dan tas. Tapi, bahan-bahannya juga masih harus dibeli dari sana. Tak ada yang jual di sini.”
Bisa jadi, pengemasan dan promosi kreatif juga diperlukan oleh mayarakat desa ini. Tikar-tikar kreasi mereka juga masih perlu dikemas lebih ringkas agar bisa dipasarkan lebih luas kepada turis, atau masyarakat di daerah lain agar tak repot menyimpannya. Hingga kini, masyarakat masih menjualnya ke tengkulak atau warga lain yang membutuhkan dengan menggulung tikar yang telah jadi.