Di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, tanaman purun (Eleocharis dulcis) dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tikar. Bentuknya seperti silinder dengan kulit luar mirip buluh bambu tipis. Memanennya harus hati-hati, karena mencabutnya begitu saja bisa menoreh kulit dengan ketajaman seperti sembilu. Para perempuan di sana, sejak dulu, turun-temurun mengolahnya menjadi anyaman tikar yang bernilai guna.
Tanaman purun tumbuh liar dan subur di atas lahan gambut yang berawa. Para perempuan warga desa ini biasanya membeli purun bahan baku tikar dari pedagang yang memanennya langsung. Sedikit dari mereka, ada juga yang memanennya langsung ke kawasan rawa bergambut tempat purun tumbuh subur di atasnya. Memanennya bersama suami mereka, purun kemudian dipisahkan; sebagian untuk dijual, sebagian lainnya dipakai menganyam.
Setelah dipanen, purun yang basah dijemur terlebih dahulu. Setelah kering, tugas berikutnya adalah membersihkan purun dengan memotong bagian pangkal dan ujungnya. Nah, sampai di sini purun dijual kepada warga, yang kemudian memipihkannya dengan cara ditumbuk dengan kayu. Ini bukan kerja ringan, karena perlu tenaga dan ketekunan menumbuk seikat purun hingga pipih.
Baru setelahnya, purun diwarnai dengan mencelupkannya ke dalam air mendidih yang telah dibubuhi bubuk kesumbo sesuai kebutuhan. Purun kembali dijemur hingga kering sebelum bisa dipakai untuk menganyam tikar.
Menjelang Hari Ibu 22 Desember 2016, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengajak PESONA dan rekan-rekan media untuk mengunjungi desa ini. Hampir di setiap rumah warga, para perempuan berkumpul menganyam purun atau berambak. Mereka berambak sambil mengasuh anak-anak mereka. Sering juga dilakukan sembari berbincang, kadang sambil berincang-incang, menyanyikan syair rakyat yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari mereka. Ini salah satunya:
“Incang-incang pelanduk, pelanduk bawa rebo malam-malam tak tiduk mikirkan nak merabo
Pelanduk bawa rebo, kakinyo to kait mikirkan nak merabo, oleh mencari duit
Kakinya to kait, kait di rumah susun oleh moncari duit nganyam tikar purun”
Pelanduk bawa rebo, kakinyo to kait mikirkan nak merabo, oleh mencari duit
Kakinya to kait, kait di rumah susun oleh moncari duit nganyam tikar purun”
Ada banyak syair yang terdengar puitis bagi orang-orang di luar masyarakat tersebut. Padahal, kata mereka, ‘mengarang bebas’ seperti itu adalah hal yang biasa saja. Ketika naik sampan menuju lokasi memanen purun pun saya mendengar sendiri beberapa orang saling bergurau, dengan spontan saling menyahut pantun yang disampaikan dalam bahasa setempat. Syair di atas sendiri menuturkan kegelisahan, tak bisa tidur karena memikirkan pekerjaan esok hari.