Wanita beusia 51 tahun ini seorang produser dan sutradara film, pendiri Miles Film, yang bicara soal totalitas menjadi sineas dan keberanian yang harus dimiliki perempuan sineas untuk menghadapi dunia film yang keras.
Terjun ke dunia film merupakan impian besar saya sejak remaja. Ketika kami sekeluarga tinggal di Australia, saya banyak sekali menonton film. Lalu muncul ide-ide dan dorongan kuat untuk membuat film sendiri. Kembali ke Tanah Air, saya mengambil kuliah di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
Meskipun mengambil jurusan penyutradaraan, ternyata saya justru lebih tertarik menjadi produser film, padahal banyak teman kuliah saya ingin jadi sutradara atau aktor—mungkin karena lebih mudah terkenal.
Bagi saya, pekerjaan sebagai produser sangat menantang dan exciting. Merumuskan dan mematangkan konsep sebuah film, menawarkan kepada investor, mengawasi kelancaran produksi, mengelola marketing dan promosi, hingga memastikan filmnya hadir di gedung bioskop. Ribet tapi sangat mengasyikkan, apalagi atmosfer di lingkungan film sangat kreatif dan jauh dari formalitas. Selain itu, di setiap proyek biasanya akan berseliweran ego-ego yang kadang berbenturan dengan keras— ego sutradara, ego aktor, ego saya sendiri. Maka tugas produser pun bertambah satu lagi, yaitu me-manage ego, ha ha ha….
[Baca tentang Wulan Guritno yang menjadi produser film]
Mungkin karena beberapa film yang saya produksi berhasil menjadi box office—seperti "Petualangan Sherina", "Ada Apa Dengan Cinta?" (AADC), dan "Laskar Pelangi"—banyak yang bertanya tentang resep saya memproduksi film-film box office. Jujur saja, saya tidak tahu jawabannya. Bahkan produser film di Hollywood pun tak pernah bisa memprediksi hal itu. Tapi itulah yang membuat dunia film menjadi menarik karena selalu penuh kejutan. Namun di sisi lain, hal ini sering menyulitkan saya untuk meyakinkan investor agar menanamkan modalnya.
Untungnya sejauh ini ada saja investor yang masih punya idealisme dan tidak semata-mata memikirkan keuntungan. Saya hanya ingin membuat film-film yang bagus dan bermutu, baik dari segi cerita, penceritaan, penyutradaraan, akting pemain, pengambilan gambar, dan sebagainya. Risikonya, target penonton saya mungkin jadi mengerucut. Kalau ternyata film saya sesuai dengan selera masyarakat luas dan laris secara komersial, itu bonus yang menyenangkan. Mungkin karena itu saya lebih banyak bekerja sama dengan beberapa sutradara saja. Riri Riza, misalnya, karena kami berdua memiliki visi, idealisme, dan totalitas yang sama. Kalau selama ini saya sering memakai aktor Nicholas Saputra, itu juga karena totalitas dia yang luar biasa.
Saya ingin film Indonesia dicintai dan ditonton oleh penonton Indonesia. Tapi bukan berarti kita harus membatasi masuknya film-film asing, termasuk dari Hollywood. Kalau mau maju, kita harus berani berkompetisi dengan film-film luar. Saya juga tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang memblokir situs Vimeo dan Netflix yang membuat orang bisa menonton film secara gratis dan tanpa harus ke bioskop. Saya percaya, waktu telah membuktikan bahwa orang tetap pergi ke bioskop untuk menonton film-film yang bagus.
[Simak pandangan Ceu Popong tentang isu perempuan dan pendidikan]
Foto: Tody Haryanto
Pengarah gaya: Erin Metasari