Guru besar di bidang musik ini dulunya tak pernah bercita-cita menjadi guru.
Cita-cita Tjut Nyak Deviana Daudsjah adalah menjadi musisi yang menggodok orkestra dan meluncurkan album komposisi musik setiap tahun. “Pokoknya bisa memiliki satu-dua album, tidak punya bos, dan tidak menjadi bos siapa pun,” ujar Deviana.
Namun selama bertahun-tahun menjadi musisi di Eropa, Deviana kerap diminta menjadi band leader. “Padahal saya tidak suka memimpin,” ceritanya, tertawa. Suatu hari di tahun 1987, ia diminta mengajar privat untuk sebuah band. Sejak itu ia mulai suka mengajar, apalagi saat melihat kemajuan muridnya.
Pada awal 1990, ia ditawari mengajar di Jazz & Rockschule Freiburg yang kemudian jadi International Music College. Saat itu ia sedang menjadi freelance music director di sebuah teater di Jerman. Setelah menjadi dosen vokal selama enam bulan, ia malah ditawari menjadi Artistic/Academic Director —di Indonesia setara dengan Rektor— di International Music College, Jerman. Ia menyusun kurikulum musik yang kemudian diakui oleh Pemerintah Jerman.
Deviana meraih Master Degree in Classical Piano Performance & Composition, serta Master Degree in Jazz Vocal dan Doctorate Degree in Music dari Musikhochschule Freiburg Jerman. Setelah 26 tahun hidup di Eropa, ia memutuskan pulang ke Tanah Air membawa kurikulum yang disusunnya itu. “Saya tinggalkan semua kemapanan saya dan memulai lagi semuanya dari nol,” kenang Deviana.
Saat itu awal tahun 2000, dan ia telah bertekad membangun perguruan tinggi musik. Ia memulainya dengan menyewa tempat untuk kursus privat. Untuk memperkenalkan diri sembari menambah modal, ia tampil reguler di klub-klub dan hotel-hotel berbintang.
Ia juga kos di gang sempit di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, untuk mengenal kembali negeri kelahirannya. Sepanjang tahun ia mengadakan workshop dan jam session sebagai sosialisasi bahwa ia akan mendirikan sekolah musik.
Di tahun 2001, seorang teman meminjamkan rumahnya di kawasan Taman Kemang, Jakarta Selatan. Deviana hanya perlu membayar biaya perawatan. “Saat itu mahasiswa saya baru dua orang,” katanya. Ia terjun langsung mendidik dua mahasiswa angkatan pertama Institut Musik Daya Indonesia (IMDI). Saat mahasiswa terus bertambah, ia mendirikan Daya Big Band dan menyelenggarakan Indonesia Open Jazz Festival.
Mahasiswa-mahasiswa yang berhasil lulus di angkatan pertama kemudian menjadi pengajar di IMDI, salah satunya Titi Rajo Bintang. Kampus IMDI sempat pindah ke Jalan Wijaya, sebelum kini menetap Jalan Ampera Raya, semuanya di Jakarta Selatan.
Deviana rutin mengajak mahasiswanya berdiskusi tentang isu-isu dunia. “Misalnya diskusi tentang Khmer Merah di Kamboja. Sekilas tak ada hubungannya dengan musik. Tetapi jika suatu hari diundang sebagai musisi ke Kamboja, mereka memiliki kepekaan terhadap tragedi yang pernah terjadi di negara itu.”
Menurut Deviana, pemain musik di Indonesia belum memiliki kesadaran genre, sehingga banyak yang merasa cukup dengan belajar autodidak, lalu tampil. “Akhirnya mereka hanya meniru, memainkan musik orang lain, bukan menciptakan sendiri,” katanya.
Kalau belajar musik secara akademis, mahasiswa tidak hanya belajar memainkan alat musik dengan benar, tapi juga belajar Sejarah, Budaya, Sosiologi, Sejarah Seni Pertunjukan, dan Pedagogi Musik.
“Film-film Hollywood seperti 'Star Wars,' 'Lion King,' itu musiknya dibuat oleh akademisi musik,” katanya.“Akademisi musik juga memiliki lapangan pekerjaan yang lebih luas. Tak hanya menjadi performer, mereka juga bisa menjadi dosen, memproduksi musik untuk drama musikal, film dan teater, serta memimpin orkestra.”
IMDI juga memiliki event organizer dan performing arts management yang dikelola oleh dosen dan mahasiswa sendiri. Mereka menggelar beragam event musik berskala nasional atau internasional. Mahasiswa IMDI juga diajak mencintai hewan. IMDI memiliki Daya Animal Rescue yang menyelamatkan hewan-hewan telantar. Hewan yang telah dirawat itu berkeliaran di kampus IMDI, dan bisa diadopsi oleh siapa saja, salah satunya via Twitter.
Sejak tahun 2013 IMDI menjadi partner school University of Arts, Design & Music (HKDM) Freiburg Jerman.
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan