Menentukan peran bagi para aktor adalah hal krusial agar film bisa ‘menipu’ penonton bahwa yang mereka saksikan adalah realitas. Penonton bisa gemas sekali terhadap seorang karakter, atau sebaliknya, jatuh hati setengah mati. Tetapi untuk mewujudkan itu, dibutuhkan peran casting director yang piawai.
Dewi Yulia Razif berperawakan tinggi semampai, dengan ekspresi wajah dan gestur tegas. Keyakinan terpancar dari tutur katanya, dan lewat sorot mata itu, ia seakan mampu menerawang potensi tersembunyi dalam diri seseorang. Ini sebuah kualitas yang wajib bagi seorang casting director.
“Saat ngobrol, seperti ada sesuatu dari suara dan tubuh mereka yang bikin aku merinding,” ujarnya tentang momen saat casting. Dewi mengacu pada artis-artis yang ia ‘temukan’, seperti Raline Shah, Hamish Daud, Shandy Aulia, hingga Nabila JKT48. Ia menyebut hal itu dengan “aura bintang.”
Aura bintang bukan sesuatu yang bisa dideskripsikan secara saklek. Ia terasa dari pembawaan seseorang yang, seolah, memancarkan kepribadian kuat. Tahu, kan, perasaan yang muncul ketika bertemu orang-orang yang begitu memukau? Seorang casting director mesti peka terhadap ini. Bagaimanapun, itu bukan satu-satunya skill yang mesti dimiliki.
Selain kemampuan mengenali aura bintang, casting director harus peka melihat kebutuhan lain dari film. Misalnya, soal siapa memerankan siapa. Untuk ini, Dewi punya beberapa pertimbangan. Cara paling mudah adalah dengan melihat ‘kedekatan’ antara aktris dengan karakter yang dimainkan.
Sebelum memilih Shandy Aulia sebagai pemeran Tita dalam film “Eiffel I’m in Love” (2003), Dewi sudah melihat kemiripan keduanya—cantik, polos dan berpembawaan ceria. Kesamaan akan memudahkan sang aktris dalam memainkan karakter. Hal lain adalah pertimbangan fisik si aktor yang harus sesuai dengan penggambaran karakter dalam skenario. Ini juga krusial untuk meyakinkan penonton. Sederhananya, peran antagonis akan lebih pas diperankan aktor beraut wajah galak, meski hal tersebut tidaklah mutlak.
Dewi punya pengalaman soal ini saat menangani casting “Tenggelamnya Kapal van Der Wijck” (2013). Saat itu dia punya dua pilihan untuk memerankan karakter Aziz: Herjunot Ali dan Reza Rahadian. Pilihan sulit, tetapi Dewi mesti memutuskan. “Muka Junot itu baik, lebih cocok untuk (karakter) Zainuddin. Sementara karakter Aziz melibatkan adegan temperamental saat mabuk—menendang kursi, sampai memukul Hayati,” jelasnya.
Pertimbangan terakhir adalah soal skill. Bagi Dewi, actor harus bisa menghadirkan roh karakter ke dalam dirinya. Karakter yang ‘berat’ perlu aktor piawai, sementara kemampuan tersebut tak dimiliki semua aktor. Beberapa aktor seperti terjebak dalam satu karakter. Hanya aktor piawai yang bisa seperti bunglon. Tugas Dewi tak selesai sampai pemilihan pemain. Ia perlu turut menjaga konsistensi dan disiplin, dengan sikap tegas, jika perlu. Ketika syuting film “5 Cm” (2013), misalnya, Dewi sempat menegur para pemain lantaran lambat berkumpul, padahal semua kru telah siap. “Sunrise itu cuma lima menit. Kalau kita nggak dapat gambar hari itu, harus menunggu lagi sampai besok.”
Dewi menikmati benar perannya sebagai casting director. Kesuksesan film-film yang ia tangani selalu memberikan suntikan rasa percaya diri untuk menjadi lebih baik lagi di bidang yang ia cintai. Ia percaya, “di sini saya bisa memberikan yang terbaik, bikin karya yang baik, dan dapat ilmunya. Ketika orang keluar bioskop sambil membicarakan film yang aku kerjakan, rasanya saya begitu terapresiasi.”
Baca juga tentang Blood for Life, jembatan penyambung hidup di sini.
Wawancara oleh Aprilia Ramadhani dan Mardyana Ulva
Foto: Previan F. Pangalila
Pengarah gaya: Dian Prima