Jangan mengira bahwa Anda akan menonton film hitam-putih yang sudah suram termakan jamur dan baret-baret karena tergores. Sebaliknya—tetap hitam-putih—Anda justru akan menyaksikan film yang mulus dengan audio bening. Karena, film seluloid ini telah mengalami proses restorasi dan ditransfer ke format 4K oleh para sineas anak negeri yang bernaung di bawah SA Films, meskipun proses pembersihannya dilakukan di Bologna, Italia.
Sebelumnya, film seluloid ini tersimpan di EYE Museum di Amsterdam, Belanda, dengan maksud akan direstorasi. Namun karena terjadi krisis keuangan global, rencana itu tertunda. Agar tidak makin rusak, pihak SA Films mengambil alih proses restorasi tersebut, yang memang memakan biaya tinggi dan butuh waktu relatif lama, terutama karena diperlukan kesabaran dan ketelitian tinggi. Totalnya, dibutuhkan waktu sekitar 17 bulan sampai film ini layak tampil di layar lebar.
Sebelum Tiga Dara, memang sudah ada film Indonesia lain yang direstorasi, yaitu Lewat Djam Malam, juga karya Usmar Ismail, yang rilis pertama kali tahun 1954. Namun proses restorasi ini nyaris sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan film Singapura pada 2012 lalu. Yang hebat, film Tiga Dara juga sudah go international. Film ini pernah diputar di Malaysia (waktu itu namanya masih Malaya) dan meraih box office di sana. Pada akhir 1950an, film ini ditayangkan di beberapa kota di Italia serta di Yugoslavia, serta di Festival Film Venesia tahun 1959. juga di Papua Nugini dan Suriname.
Saat menonton film musikal ini, jujur saja saya merasa takjub. Meskipun film legendaris karya sutradara Usmar Ismail ini diproduksi 60 tahun yang lalu, sedikit pun saya tidak merasakan adanya jarak dengan kehidupan dan permasalahan masa kini.
Wanita single yang didesak untuk kawin oleh orang tua karena usianya hampir 30 tahun tidak terdengar aneh, kan? Begitu juga problem rebutan cinta antar kakak-adik, meskipun ending-nya cenderung digampangkan. Begitu juga kualitas penyutradaraan dan akting para pemainnya yang begitu wajar. Bandingkan dengan akting para pemain sinetron dan film di zaman sekarang yang belum tentu luwes semua. Kalaupun ada yang terasa sedikit jadul adalah soundtrack film ini, yang benar-benar mewakili jenis musik tahun 50-an. Penata musiknya, Saiful Bahri, berhasil meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1957.
Namun yang paling menarik bagi saya adalah fashion dan gaya hidup yang ditampilkan dalam film ini. Benar juga bahwa sebuah film adalah gambaran masyarakat pada suatu zaman (walau biasanya didramatisasi sedikit). Celana capri dan kemeja ala Grace Kelly, gaun-gaun berpinggang ramping, rambut yang dibuat ikal atau dikepang simpel, sungguh asyik dilihat dan sama sekali tidak terlihat ketinggalan zaman. Tampilnya Mieke Wijaya dan Indriati Iskak di film ini juga membuktikan bahwa sejak dulu pun wajah-wajah Indo sudah menghiasi perfilman nasional.
Tokoh Nunung yang diperankan Chitra Dewi konsisten tampil berkebaya dengan kain batik serta rambut dikonde. Kadang kebaya encim, kadang kebaya kutubaru. Tapi, lihatlah, ia sama sekali tidak terlihat ‘terbanting’ dengan gaya gadis modern yang ditampilkan kedua adiknya. Kecantikan Chitra Dewi justru lebih menonjol. Sayang ya, kalau kebaya akhirnya tersingkir oleh pakaian modern hanya karena dianggap kurang praktis.
Dan, biarpun terlihat sederhana untuk ukuran masa kini, bisa disimpulkan pula bahwa film ini memotret keluarga gedongan alias kelas atas di Jakarta untuk masa itu. Terlihat dari setrika listrik yang digunakan Nunung, keahlian Nana dan Neni main sepatu roda, Toto yang ke mana-mana naik Vespa, atau Herman yang mengajak Neni pelesir ke pantai naik mobil, meskipun mobil milik ayahnya. Padahal, di tahun 50-an, semua itu adalah barang-barang mewah yang bahkan tidak sanggup dimiliki oleh keluarga menengah. Sang ayah (juga sang nenek) tak pernah melarang anak-anak gadisnya ke pesta dan berdansa-dansi dengan teman-teman prianya. Berpegangan tangan atau saling memeluk pinggang saat berdansa menunjukkan bahwa wanita dan pria di zaman itu sudah bergaul dengan lugas walau tetap sopan. Menarik!
Foto: SA Films
[Baca juga bagaimana Nia Dinata membuat remake Tiga Dara]