“TEMAN_TEMAN SAYA di Shanghai pada mau coba triathlon,” tutur Inge tentang momen yang membuatnya kembali menekuni olahraga tersebut. Waktu itu tahun 2014, dan mulanya Inge skeptis. “Saya dulu pernah ikut,” tuturnya pada teman-teman. “Mau mati, deh, capeknya.”
Tetapi teman-temannya terus membujuk. Pasti tidak seperti di Indonesia, jaraknya juga pasti beda, kata mereka. Maka Inge terbujuk juga. Ia berpikir, mungkin dulu ia kurang persiapan, mungkin terlalu bernafsu. Mungkin, ia bisa memberi kesempatan kedua bagi olahraga triathlon.
Jadilah, setelah 17 tahun berselang, Inge kembali ke triathlon. Saat itu ia beli road-bike murahan, yang alumunium. Para peserta triathlon berasal dari manca negara, dan Inge ikut di kategori perempuan 30-39 tahun. Siapa sangka, saat itu ia juara 2 – dan peringkat 5 untuk keseluruhan kategori. “Gila, saya menunggu 17 tahun untuk bisa berani,” kenangnya. “Setelah itu, saya lebih percaya diri.”
Dari situ, Inge mulai menjadi langganan. Ia ikut Bali Triathlon dua kali, kemudian ada Bintan Triathlon, half-ironman di Filipina, dan berbagai ajang Ironman lain.
Ketika ditanya soal mana favoritnya dari ketiga cabang triathlon, Inge mengatakan berenang. “Asal airnya bagus. Di Cina itu kotor sekali, sampai nggak kelihatan. Saya pernah berenang di danau yang airnya ada manis-manisnya.”
Sebaliknya, Inge paling tidak menikmati cabang lari. “I cannot say it’s enjoyable. Karena, lari itu paling terakhir. Kita sudah capek, lalu panas. Setelah bersepeda ratusan kilo, kaki terasa seperti jelly. Lari adalah yang terberat. Pingsan atau tidaknya seseorang biasanya pas berlari.”
[Tonton video Inge Prasetyo di sini]
APA YANG MENJADI MAGNET triathlon, tanya saya pada Inge, dan bagaimana ia mengatur semuanya.
Triathlon adalah olahraga yang butuh perencanaan, itu satu hal. Hal lain adalah, ia tidak murah. Rata-rata, untuk satu kali lomba, biayanya berkisar USD500 (biaya registrasi ajang World Championship Ironman sendiri USD1.000). Dan kadang, biaya sebesar itu belum termasuk tiket pesawat, akomodasi, makan atau juga peralatan. Di luar itu, bagaimana pula soal waktu latihan dan pola makan?
“Nggak ada diet-dietan. That’s a good thing being an endurance athlete. You can eat everything,” jelasnya mengenai pola makan. Sementara untuk latihan, ia biasa bangun jam 4 pagi untuk latihan, sebelum memulai rutinitas kantor. Kemudian, pulang kantor ia akan kembali berlatih.
Terkait biaya lomba, Inge mengatakan mesti menyisihkan pendapatannya. Semua biaya sendiri. “Kalau atlet sungguhan, mereka mungkin punya sponsor, baik itu untuk tiket, biaya pendaftaran, atau peralatan. Kalau saya, mah, apa?”
Lantas apa yang membuat Anda terus-menerus kembali? Inge terlihat bingung bagaimana menjawab. Ia mengaku tidak tahu pasti alasannya, namun mengatakan bahwa mungkin karena dia menjadi lebih baik. Menurutnya, ketika seseorang bisa melihat dirinya berkembang, hal itu akan memacu lebih jauh.
Selain itu, triathlon juga telah membuat Inge merasa lebih sehat dan lebih punya semangat dalam hidupnya. “Setiap hari saya sangat excited, selalu look forward for something,” ungkapnya. “Hidup jadi tidak monoton karena semua serba menarik.”
SETELAH 18 TAHUN hidup di luar negeri, Inge kini pulang ke tanah air. “Sudah cukuplah. Lagi pula, 4-5 tahun belakangan di Cina polusi semakin parah. Langitnya sudah abu-abu,” jelasnya. Inge juga merasa perlu mengganti suasana. Ketika perusahaan sudah mapan, tantangan pun berkurang.
Lalu apa rencana Anda ke depan, tanya saya jelang akhir pertemuan. “Kalau bisa, sih, yang sejalan dengan olahraga. Jadi, tidak perlu izin kalau mau ikut lomba atau latihan,” ujarnya. “Saya tidak ingin melewatkan hidup. Ada banyak hal yang bisa dilakukan.”
Foto: Zaki Muhammad, dokumentasi Inge Prasetyo
Video: Bayu Maitra
Pengarah gaya: Erin Metasari