INGE MENGHABISKAN 18 TAHUN hidupnya di luar negeri, untuk kuliah juga untuk bekerja. Selepas SMA, ia mengambil kuliah Chemical Engineering di University of California, Amerika Serikat.
Ketika ditanya apa yang menarik dari kimia, ia terkenang dengan eksperimen-eksperimen aneh semasa SMA. “Cemplung ini-itu, berubah jadi warna-warni. Atau, bermain-main dengan api, hahaha,” kenangnya. “Kimia itu menarik. Tetapi pas kuliah, tidak ada lagi eksperimen-eksperimen seperti itu.”
Selesai kuliah, Inge beranjak ke Shanghai, Cina. Ia sempat belajar bahasa selama enam bulan sebelum magang di De Monchy Aromatics, satu perusahaan produsen material mentah untuk flavor dan fragrance. Sederhananya, kalau Anda ingin membuat air putih rasa cokelat, atau aroma roti di bantal Anda, mereka mungkin bisa membantu.
De Monchy Aromatics sendiri merupakan perusahaan asal Inggris yang sudah berumur lebih dari 50 tahun. Ia perusahaan keluarga yang punya cabang di berbagai negara, seperti di Hongkong dan Bulgaria.
Sepuluh tahun di sana, karier Inge terus berkembang. Dari yang hanya magang, ia lantas merasakan kerja di bagian logistik, pindah ke bagian penjualan, lalu ke bagian manajerial kantor, dan pada akhirnya menjadi manajer operasional untuk seluruh Cina, ketika bos-nya sudah kembali Inggris.
Setiap pagi pukul 09.00, Inge akan mengecek dan membalas email yang menumpuk lantaran perbedaan waktu antara Cina dan Inggris. Jelang jam makan siang, telepon-telepon mulai berdatangan. Umumnya dari klien-klien di Asia. Inge juga mengawasi divisi lain, apakah ada masalah di gudang atau terkait pengiriman.
Hari menjadi lebih lowong saat jelang makan siang, namun akan kembali sibuk pada pukul 3 sore, saat kantor di Inggris sudah buka. “Terakhir-terakhir, pekerjaan saya cuma memastikan semua berjalan mulus,” ungkapnya.
[Baca tentang alasan olahraga membuat Anda bahagia]
JIKA ADA SATU HAL yang tak pernah luput di tengah kesibukan Inge, itu adalah olahraga. Pengalaman di kolam renang sewaktu kecil itu ternyata berlanjut.
Darah olahraga itu mungkin mengalir dari ibunya. Sang ibu adalah atlet basket. “Dia pernah ikut PON tiga kali,” tutur Inge, “meski tingginya hanya 150 cm.”
Ketika usia enam tahun, Inge bergabung dengan klub renang Kusuma Harapan. Dan yang tadinya hanya untuk kesehatan, lama-lama jadi suka, jadi kompetitif, dan jadi kompetitif banget. Setiap hari Inge bangun jam empat pagi, dan jam setengah lima dia sudah di kolam. Setelah berlatih, ia baru diantar ke sekolah. Kadang Inge sarapan di mobil, kadang di kolam renang.
Ia sempat mengikuti berbagai kejuaraan antar daerah, antar provinsi. Tetapi ketika ia berusia 15 tahun, ia mulai merasakan bosan. Sang ibu, takut Inge kehilangan minat olahraga dan salah bergaul, kembali mencarikan pelatih. Kali ini, atletik.
Inge lantas belajar semuanya: Lari, lompat galah, lompat jauh, dan seterusnya. Sang pelatih melihat potensi Inge, dan menempatkannya di ajang lompat jauh. Tetapi belum sampai tingkat nasional, Inge mesti berangkat ke Amerika.
Inge sendiri mengenal triathlon sewaktu zaman SMA. Dulu, ia iseng dan penasaran. Pikirnya, karena sudah menguasai dua cabang (renang dan lari), lomba akan jadi mudah. Dia keliru.
“Waktu itu pakai mountain bike. Itu besar dan berat, sementara saya ceking. Aduh…” Kenang Inge. Pada lomba itu, Inge gagal mencapai finish. Selain persoalan sepeda, Inge tidak memperhitungkan soal jarak yang jauh, medan yang off-road dan berbatu, dan terik matahari yang menguras tubuh. “Di Batam itu luar biasa panasnya. Dari 10 km, saya hanya menyelesaikan 2 km.”
Inge ingat, kala itu, hanya ada tiga peserta perempuan. Kala itu triathlon memang masih “non-existence”. Pada lomba itu, yang banyak ikut adalah dari kalangan tentara. “Saya trauma. Nggak mau lagi, deh…,” ungkap Inge.
Dan betul saja, hingga bertahun-tahun kemudian, dari lulus SMA hingga lulus kuliah dan menjadi pemimpin perusahaan, triathlon pun terlupakan… hingga pada suatu hari di 2014.