Hanya beberapa jam setelah kejadian bom di Jalan Thamrin Jakarta, 14 Januari 2016 lalu, masyarakat Jakarta ramai-ramai melempar tagar #KamiTidakTakut di media sosial. Bukan hanya itu, mereka juga saling mengirim meme yang lucu-lucu, yang intinya mengerdilkan aksi teror yang dianggap gatot alias gagal total serta mempermalukan pihak teroris. Reaksi ini kabarnya sempat membuat dunia tersentak dan terkagum-kagum terhadap bentuk perlawanan masyarakat Indonesia yang nyeleneh dalam menghadapi aksi terorisme, yang biasanya disikapi dengan ketegangan dan ketakutan yang mencekam.
Namun, ternyata tak semua orang Indonesia setuju dengan tagar seperti itu, umumnya yang tinggal di luar Jakarta atau bahkan di luar negeri. Meskipun terkesan berbisik-bisik –mungkin karena tak mau dianggap penakut atau mematikan semangat optimisme; intinya mereka menyindir bahwa sikap seperti itu sangatlah tidak bijaksana. Ojo kemlinthi, kata orang Jawa. Jangan sok jago. Jangan sok nantang-nantang. Bahaya tidak ditantang pun bisa datang kapan saja. Tuhan nggak suka sama orang yang jumawa. Dan sebagainya.
Tetapi, takut adalah soal rasa. Rasa takut bisa datang menyergap begitu saja. Misalnya saat kita sedang berjalan sendirian di malam hari di tempat yang sepi. Atau justru muncul ketika kita sedang di tengah keramaian. Misalnya ketika harus menyeberang jalanan yang dipenuhi kendaraan yang sedang ngebut. Atau di tengah kerumunan orang banyak, yang beberapa di antaranya mungkin copet yang mengincar tas Anda.
Tapi rasa takut itu juga bisa aneh, juga absurd. Ia bisa saja tidak muncul, atau hanya muncul sekejap, meskipun ancaman ada di depan mata. Bahkan ketika sebuah peristiwa mengerikan terjadi, seperti ketika bom meledak di dekat kita, tetap saja kita tidak merasa takut. Hanya beberapa jam setelah bom Thamrin dijinakkan polisi, warga ramai-ramai menyambangi TKP, seolah sedang mengunjungi objek wisata yang sedang happening. Malamnya warga berdatangan untuk melakukan doa bersama sambil menyalakan lilin dan mengangkat spanduk-panduk bertuliskan "Kami Tidak Takut" dan "We Are Not Afraid" sembari dadah-dadah di depan awak stasiun televisi yang meliput kegiatan mereka.
Aneh dan sama sekali tidak dibuat-buat, apalagi merasa sok jago atau sengaja menantang-nantang bahaya, tapi memang rasa takut tidak ada. Tidak terasa. Kalaupun ada, mungkin hanya sedikit. Saat itu warga Jakarta memang merasa tidak takut. Buktinya banyak kegiatan di hari itu tetap berjalan seperti biasa. Esok harinya, bisa dikatakan secara psikologis Jakarta sudah pulih. Ya, rasa takut memang kadang misterius datang dan perginya.
Meskipun terasanya lebih banyak di dada, biasanya dalam bentuk deg-degan, sesungguhnya rasa takut berasal dari pikiran kita sendiri, hasil kerja otak kita. Ada rasa takut yang muncul akibat adanya trauma di masa lalu, atau hanya karena fantasi yang irasional, yang tak masuk akal. Banyak orang takut pada hantu atau makhluk-nakhluk gaib. Tapi lebih banyak orang yang takut pada hantu ternyata belum pernah melihat atau diganggu oleh makhluk halus sama sekali. Bisa jadi karena ketika kecil dia sering ditakut-takuti soal hantu oleh orang tua atau kakaknya yang iseng.
Jarak juga bisa menimbulkan rasa takut. Jarak yang dekat dengan sumber ancaman belum tentu membuat kita lantas menjadi lebih takut. Bisa jadi sebaliknya. Jarak yang jauh justru menimbulkan rasa takut, karena kita secara tak sadar bermain-main dengan berbagai fantasi yang menakutkan, yang mungkin berlatar belakang trauma kita sendiri atau pengalaman orang lain.
Tak heran kalau teman saya di Yogya justru merasa lebih ketakutan saat terjadi pemboman di Jalan Thamrin dibandingkan dengan saya sendiri yang tinggal di Jakarta. Mungkin karena saya menyaksikan sendiri bahwa keadaan yang sebenarnya tidaklah semengerikan yang dibayangkan teman saya, tentunya tanpa mengecilkan arti para korban tak berdosa yang harus terluka atau kehilangan nyawa akibat peristiwa itu. Teman saya, warga Indonesia yang tinggal di Belgia, juga tak kalah ketakutan. “Mungkin karena saya terlalu lama tinggal di negara yang relatif aman. Pastinya di Belgia tidak mungkin polisi akan membiarkan warganya nekat berwisata ke lokasi meledaknya bom hanya beberapa jam setelah peristiwa,” katanya lewat media sosial.
Tapi ada rasa takut yang tak paling destruktif, yaitu takut menghadapi masa depan.Berapa sering kita batal melakukan sesuatu hanya karena takut menghadapinya dan takut gagal. Kita hanya ingin ini dan ingin itu, ngrasani orang-orang yang sukses dan kaya, dan mencari titik lemah mereka untuk mencelanya. Seberapa sering kita kalah atau gagal mencapai sesuatu hanya karena kita tak pernah berani mencoba? Kita takut akan sebuah proses, karena proses akan mengacaukan zona nyaman kita. Karena proses akan membuat kita belajar lagi, bekerja keras lagi, memulai dari nol lagi.
Untungnya, karena berasal dari pikiran, rasa takut bisa diatasi. Kalau ada anger management, tentunya juga ada fear management atau anxiety management. Kalau butuh terapi, Anda bisa mendatangi ahlinya. Bagaimanapun, rasa takut tetap kita butuhkan agar kita berhati-hati dalam menjalani apa pun, karena pada dasarnya setiap manusia ingin selamat dan survive dalam kehidupan. Tapi jangan sampai juga rasa takut itu berlebihan porsinya, atau keluar dari akal sehat, karena bila begitu kita hanya akan selamanya terkurung di dalam rumah kerang kita. Sesekali kita memang perlu berani menantang bahaya agar bisa berkembang. Berkembang untuk mengatasi rasa takut seperti yang ditunjukkan warga Jakarta bersama-sama pada 14 Januari lalu. #WeAreNotAfraid.