
Meski bergelar Sarjana Psikologi dari Universitas Indonesia, Swastika Nohara, 39, tidak percaya diri bekerja sebagai seorang psikolog. “Takut stres sendiri,” ujarnya, tertawa.
Jalur lain diambil oleh wanita yang biasa dipanggil Tika ini, yakni menjadi reporter televisi. Menjadi reporter membuatnya belajar banyak, dan ketika ia merasa nyaman dengan bidang ini, Tika memantapkan diri untuk tidak kembali ke dunia psikologi.
Sebagai reporter, tugas Tika mengangkat isu-isu nasional seperti politik dan kriminal. Kedua isu itu bukan hal favoritnya, sampai ketika ia berkesempatan membuat tayangan mengenai seni dan dokumenter.
Di situlah ia merasa jatuh cinta, walau sayangnya kedua jenis tayangan tersebut bukan andalan stasiun televisi tempatnya bekerja. Hasil karyanya tidak pernah mendapat slot prime time. Tika tak kecewa, tapi semakin tertantang.
Fokus pada tayangan dokumenter, ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya dengan memilih jurusan Screen Documentary di Goldsmiths, University of London. Selama masa studi, peraih beasiswa Chevening ini juga sesekali mengikuti kelas penulisan skrip untuk film fiksi.
Membawa gelar Master of Art in Screen Documentary, ia kembali ke Tanah Air dan bergabung di salah satu production house di Jakarta. Ia mengerjakan film-film dokumenter pendek, sambil sesekali menulis untuk film televisi atau sinetron. “Bisa dihitung dengan jari,” kata Tika.
Karier Tika tak selamanya mulus. “Ketika membuat dokumenter, banyak sekali tantangan yang membuat saya harus menyembunyikan narasumber,” kenang Tika. Hal tersebut mengusiknya—sebenarnya sebuah materi untuk dokumenter bisa diolah menjadi tayangan fiksi.
Tujuannya adalah menyampaikan informasi ‘terselubung’ yang ia dapatkan dari lapangan. Apalagi jika yang diangkat isu-isu sensitif—pesan akan lebih mudah disampaikan melalui gaya bercerita fiksi.
Mulailah Tika belajar mengenai pembuatan film fiksi. Beragam hal yang tidak dapat ia olah ketika membuat dokumenter ia kemas dalam bentuk fiksi. Lahirlah karya pertamanya, film “Hari Ini Pasti Menang” (2013), yang bercerita mengenai perjudian di dunia sepak bola Tanah Air.
Selain menyampaikan informasi yang tidak bisa ia sampaikan secara blak-blakan, sebagai penulis naskah film, ia bisa menyampaikan opini di dalam cerita yang sedang ia kerjakan. Tidak secara terbuka, tetapi pandangan Tika pasti ada di tengah-tengah ratusan halaman naskah film tersebut.
Menjadi seorang penulis naskah film juga membuat dirinya semakin kaya. Bukan soal materi, tetapi dari pola berpikir—bagaimana ia mengambil keputusan, serta mendapatkan referensi untuk karyanya sendiri. Ia juga senang jika realitas yang ditulisnya bisa jadi fiksi berkualitas.
Tidak ingin egois, penggemar Jonathan Nolan (penulis skenario “Memento,” “The Dark Knight” ) dan Tom Abrams (penulis skenario “The Notebook” ) ini pun ingin para penikmat film yang ditulisnya dapat memperkaya diri. Salah satu bentuknya adalah ketika ia mendapat tanggapan langsung dari penonton. Ia merasa informasi yang disampaikan berhasil diterima.
“Artinya, ada sesuatu yang bertambah pada diri penontonnya,” katanya senang.
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Wita