Sepuluh tahun lalu, Susanti Dewi adalah Head of Business Development & Promotion di sebuah production house milik salah satu televisi nasional.
Kala itu Santi, begitu panggilannya, berada di dalam ruang editing memperhatikan proses pengerjaan sebuah film televisi. Akting Reza Rahadian yang membintangi film TV itu begitu memikat. Santi sampai menangis karena kagum pada akting Reza.
Ia juga penasaran, bagaimana proses sebuah film hingga seorang aktor bisa berakting sedemikian mumpuni. Lama-lama, Santi merasa jatuh cinta pada proses kerja tim produksi film dan sinerginya dengan para aktor.
Sejak saat itu, Santi mendapat kesempatan untuk terlibat dalam setiap rapat kreatif dari proses sebuah film TV—dari pra-produksi, syuting, hingga film selesai. Tugas Santi hanya sebagai pengamat. Namun di situlah ia belajar menjadi produser.
Proses pembelajaran berlangsung cukup lama hingga di tahun 2012 ia bisa mengepakkan sayap ke film layar lebar sebagai associate producer. Associate producer adalah produser pendamping. Berbeda dari pemahaman zaman dulu bahwa produser adalah yang mengongkosi pembuatan film, produser definisi saat ini adalah yang bertanggung jawab dari awal hingga akhir proses pengerjaan film.
Debut Santi di lini produksi adalah lewat film “Lo Gue End,” yang diikuti “Refrain” (2013), “Cinta Brontosaurus” (2013), “Manusia Setengah Salmon” (2013), “Marmut Merah Jambu” (2014), dan beberapa film lainnya. Akhirnya, ia bisa berperan penuh sebagai produser di film “Cinta Selamanya” (2015).
“Bagi saya, produser adalah ibu dari karya itu sendiri,” kata Santi, yang menganggap film yang diproduksinya adalah bayi kecilnya.
Setiap kali akan memproduksi sebuah film, seorang produser berhubungan dengan 100 hingga 150 orang dalam sehari. Ketika syuting berlangsung, jumlahnya bisa lebih dari itu. Belum lagi orang-orang yang terlibat pasca syuting. Punya leadership untuk memimpin seluruh ‘pasukan’ merupakan hal yang wajib dimiliki seorang produser.
“Dalam satu waktu, produser harus berpikir makro dan mikro,” jelas Santi. Selain itu, ia perlu mengayomi seluruh orang, baik kru maupun aktor yang terlibat.
Jika ada masalah, ia harus mampu memikirkan bagaimana memutuskan dengan cepat solusi yang harus diambil, “karena semua berpacu kepada uang, waktu, serta (kepentingan) orang banyak,” kata Santi.
Proses produksi film sedikit-banyak mengubah hidup Santi. Bagi wanita usia 36 ini, proses pembuatan sebuah film dapat membuatnya banyak belajar arti kehidupan. Contohnya dari film yang diproduksinya, “Jakarta Undercover,” adaptasi novel laris Moammar Emka. Dari situ Santi merasa melihat dunia serta kehidupan yang tidak sesempit yang ia tahu selama ini.
Banyak cerita kehidupan yang baru ia tahu ketika ia memproduksi film tersebut, dan ini menjadi guru yang berarti untuknya. Menjadi produser juga membuat Santi bisa menyampaikan idealismenya.
Bagi Santi, film mengenai hubungan antara manusia, apalagi mengenai wanita, merupakan hal menarik yang selalu berusaha ia angkat. “Jakarta Undercover” menampilkan hal-hal itu. “Film ini merupakan idealisme kami banget,” ungkap lulusan Sastra Prancis UI ini, semangat.
“Kami” adalah Santi dan sang suami, sutradara Fajar Nugros. Melalui film tersebut, Santi ingin memperlihatkan hubungan antar manusia, atau hubungan manusia dengan dirinya sendiri, apakah seseorang dapat terlihat signifikan melalui mimpi-mimpinya.
Meski menurut Santi film adalah kehidupan, kehidupan itu bukanlah film. Keluarga tetap nomor satu, dan film itu menjadi bagian dari hidupnya—tak ubahnya kehadiran sang suami. Santi mengaku, Fajar-lah yang membuatnya menjadi seperti sekarang. “He is my number one mentor.”
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Wita