Mengapa masyarakat kita begitu sulit diajak berdisplin membuang sampah? Mungkin karena membuang sampah sembarangan tidak secara langsung merugikan kita. Pemandangan jadi tak sedap karena banyak sampah berserakan? Ah, tutup mata saja! Kita baru merasakan akibatnya kalau selokan-selokan sudah mampet dan banjir pun datang. Tapi, banyak orang yang tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya ikut berkontibusi sebagai penyebab banjir.
Beda dari disiplin mengantre—yang sekarang sudah lumayan membaik dalam masyarakat kita. Kalau kita menyalip antrean saat mau membeli tiket kereta, misalnya, orang-orang yang mengantre di depan kita pasti akan marah-marah karena mereka merasa dirugikan. Tapi kalau kita membuang sampah di trotoar atau di sungai, tidak ada yang dirugikan secara langsung. Bahkan ada yang dengan cuek mengatakan, bukankah sudah ada petugas kebersihan yang dibayar oleh negara, dengan uang rakyat, untuk membersihkan sampah-sampah itu?
Tapi tentunya ini bukan urusan tukang sapu yang dibayar oleh negara. Ini masalah peradaban. Bahkan Nabi Muhammad pun menegaskan bahwa Allah sangat mencintai kebersihan. Lantas bagaimana caranya agar masyarakat kita mau menyadari—dari dalam dirinya sendiri—untuk menjaga kebersihan lingkungannya dan berdisplin membuang sampah pada tempatnya?
Mau tak mau semua itu harus dimulai dari bangku sekolah. Dan saya yakin hal ini sudah bisa dimulai sejak anak masuk Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Jangan hanya menjejali murid dengan mata pelajaran membaca, menulis, berhitung, olahraga, dan sebagainya. Tapi juga harus ada mata pelajaran formal (bagian dari kurikulum) tentang sopan santun dan menaati peraturan, termasuk peraturan membuang sampah pada tempatnya.
Tak ada salahnya seminggu sekali anak-anak itu diajak jalan-jalan ke luar sekolah sambil memunguti sampah-sampah yang berserakan di sepanjang perjalanan. Bersamaan dengan itu, mereka juga diimbau secara terus-menerus ikut menjadi ‘polisi’ bagi orang tua, kakak, teman, atau tetangga mereka bila membuang sampah sembarangan. Orang yang lebih tua biasanya akan malu kalau diberitahu hal yang baik oleh anak kecil.
Saya yakin, bila nasihat dan contoh untuk membuang sampah pada tempatnya ini terus-menerus dicekoki ke kepala anak-anak yang masih kecil, maka efeknya bisa seperti cuci otak, dan menjadi bagian dari perilaku sehari-hari. Tentunya asalkan orang yang mencekoki konsekuen dengan kata-katanya dan bisa memberi contoh yang baik bagi anak-anak itu. Dengan begitu, sebuah generasi baru akan terbentuk dan akan menjadi pelopor untuk generasi-generasi selanjutnya.