Tapi bila seseorang sudah sanggup membeli mobil sekelas Pajero Sport, pastinya dia berasal dari kalangan menengah ke atas, dong. Maka peristiwa itu sekali lagi membuktikan bahwa kemapanan ekonomi dan tingkat pendidikan yang cukup tinggi –biasanya dua hal itu berjalan seiring—tidak ada kaitannya dengan perilaku sehari-hari seseorang. Buktinya, perilaku sang pemilik Pajero Sport (dan keluarganya) itu tetap saja ndesit alias tidak tahu aturan.
Saya tak mau menyebutnya kampungan. Karena bagi saya, orang kampung atau orang desa—bahkan suku Badui di Banten atau warga Kampung Naga di Tasikmalaya yang dianggap terbelakang—justru lebih patuh pada aturan dan norma. Mereka jauh lebih menghargai alam, sehingga tidak dengan mudah membuang sampah seenaknya, karena sadar bahwa hal itu akan merusak lingkungan sekitar mereka.
Padahal, kalau dipikir-pikir, apa sih, susahnya buang sampah di tempat sampah? Kalaupun tak terlihat tempat sampah, apa susahnya menyimpannya sebentar sampai bertemu tempat sampah? Kalau orang dengan gampang menenteng makanan atau minuman, lantas mengapa menenteng bungkus bekas makanan atau kaleng/botol kosong minuman jadi terasa berat, merepotkan, dan menjijikkan, sehingga ia ingin cepat-cepat membuangnya, meskipun bukan di tempat sampah? Mengapa disiplin membuang sampah pada tempatnya tak kunjung membudaya dalam masyarakat kita, yang katanya sudah semakin modern ini?
Yang lebih aneh, suatu kali di stasiun kereta, saya bahkan pernah disebut usil dan kurang kerjaan oleh seorang pria muda yang kalau dilihat dari penampilannya sepertinya cukup berpendidikan. Ketika itu saya—dengan sopan—memintanya untuk memungut kembali bungkus plastik bekas baterai yang ia buang sembarangan ke lantai peron, untuk dimasukkan ke dalam tong sampah yang letaknya hanya satu meter dari tempat ia berdiri. Dan karena ia tetap membiarkan sampahnya tergeletak di lantai peron, saya pun dengan demonstratif memungut sampah itu dan memasukkannya ke dalam tong sampah. Melihat itu, si pemuda bertampang intelektual itu pun beringsut pergi!