Bawel, gaul, dan tidak bisa diam. Mungkin ini yang muncul di benak Anda ketika mendengar nama Daniel Mananta.
Tapi saat saya mengajaknya ngobrol, saya menyadari bahwa Daniel ternyata punya sisi introver. Ia senang berkontemplasi dan menikmati waktu sendirian. Ia bisa saja nonton film seorang diri di mal saat menunggu meeting dimulai. Ia juga menikmati hari-hari di rumah dengan nonton TV, baca buku, kemudian tidur cepat agar besoknya bisa lari pagi.
Ada kisah lama di balik sisi Daniel yang tertutup ini. Saat duduk di SMP, ia dikirim oleh orang tuanya ke Australia untuk bersekolah. Karena Bahasa Inggris-nya belum lancar, ia kerap di-bully oleh teman-temannya. “Saat itu Bahasa Inggris saya masih belum terlalu bagus, jadi saya butuh konsentrasi yang super duper saat mendengarkan orang bicara. Orang pikir mungkin
saya budek. Jadi mendingan saya diam saja,” kenang Daniel.
Pembawaan Daniel yang ramai sempat dianggap over acting oleh teman-temannya. Dulu Daniel pernah merasa tidak bisa menjadi diri sendiri. “Okay, I cannot be myself,” kata lulusan Edith Cowan University ini. Daniel yang kita lihat sekarang amat jauh berbeda dibanding yang dulu. “Waktu di SMA, saya bukan siapa-siapa, bukan orang terkenal. Gila, gue weirdo banget!” ia menambahkan.
Setelah lulus SMA, ia mulai bisa menjadi diri sendiri. Ia menjadi MC untuk acara-acara gereja dan ulang tahun tetangga. Di situ ia mulai merasakan asyiknya berbicara di depan publik. Rasa kagum terhadap sosok yang pandai berbicara di muka umum sudah tertanam sejak dulu.
Saat duduk di kelas 4 SD ia sangat terpukau melihat pastor di gerejanya. “Ia cuma sendiri tapi berhasil menghipnotis umat satu gereja. Ketika ia bercanda, semua orang tertawa. Ketika ia bicara dengan nada haru, banyak yang menitikkan air mata,” kenang Daniel.
Ia ingat pernah bilang kepada ibunya bahwa ia ingin jadi pastor. “Ibu saya bilang, baguslah kalau itu memang panggilan Tuhan. Eh. ternyata sampai sekarang Tuhan nggak 'manggil-manggil' saya... ha ha ha.…”
Tidak ada yang sia-sia di balik sebuah kejadian. Daniel menjadi pribadi yang tahu cara menempatkan diri. Ia paham kapan harus bertingkah gila-gilaan dan kapan harus diam. Berbeda dari kebanyakan artis yang doyan mengumbar masalah pribadi, Daniel lebih suka menyimpan kisah hidupnya.
Ia punya alasan sendiri. Saat menjadi presenter, ia bisa mengatur apa yang terjadi di panggung. Dengan naskah yang pas, ia bisa tampil jenaka sehingga penonton terhibur. Tapi ia tak mampu mengontrol jalan hidupnya. Ia hanya ingin orang melihat sisi terbaiknya. Dengan begitu, ia bisa menginspirasi.
“Kehidupan pribadi saya bukan sebuah tayangan, nggak ada skripnya. Lagi pula kehidupan pribadi saya nggak sempurna. Dan kalau tahu ada bagian yang tidak sempurna, pasti orang-orang akan menghakimi saya. Jadi mendingan saya simpan dari publik apa yang tidak bisa saya kontrol,” katanya.
Pengalaman buruk saat remaja juga membuat ia lebih menghargai orang lain, termasuk penggemar. Para penggemar yang selalu menyemangati Daniel setiap kali ia merasa jenuh dengan pekerjaannya. ”Di Snapchat ada yang bilang. ‘Niel, apa yang lo kerjakan menginspirasi gue banget. Saya pernah nonton lo ngemsi, dan itu membuat gue jadi pengen memperbaiki Bahasa Inggris gue,” cerita Daniel.
Orang itu akhirnya berhasil mendapat beasiswa dan kini belajar di Australia. Semua itu sesuai dengan misi Daniel saat memilih terjun di dunia hiburan. Ia ingin memberi pengaruh positif untuk orang lain.
Foto: Zaini Rahman
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah