
Penulis dan pesohor boga Sisca Soewitomo, 68, bicara tentang dunia kuliner yang makin seksi dan bergengsi.
Saya senang melihat profesi koki saat ini tidak lagi dipandang sebagai sekadar tukang masak yang tempatnya ‘di belakang’.
Memasak juga tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan ibu-ibu yang tidak punya kerjaan lain selain mengurus keluarga. Sekarang semua kalangan mau memasak, sebagai hobi atau profesi terhormat. Anak-anak—perempuan dan laki-laki—pun tidak ragu lagi bercita-cita jadi chef atau membuka bisnis makanan.
Semua harus dimulai dan dijalankan dengan cinta. Itu prinsip saya. Saat terjun pertama kali ke dunia boga, saya tak punya latar belakang pendidikan formal sekolah memasak. Saya lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti jurusan Perhotelan. Saya hanya mengandalkan hobi memasak yang diturunkan dari ibu saya, serta pengetahuan yang mendalam tentang berbagai bahan makanan dan bumbu.
Ini adalah pengetahuan yang wajib diketahui oleh seorang presenter acara kuliner. Dengan demikian, bukan saja dia bisa menjelaskan dengan baik, tapi dia juga bisa menjawab setiap pertanyaan dari audiens. Ini akan menimbulkan rasa percaya terhadap sang presenter.
Bahwa saya sekarang dikenal sebagai pakar kuliner atau presenter acara masak, dulu hal itu sama sekali tak terbayangkan. Setelah menikah dan punya anak, saya hanya berusaha mencari tambahan penghasilan.
Selain menjadi dosen di almamater saya, saya pernah menjadi waitress, sampai akhirnya memimpin banquet di Executive Club Hotel Hilton International (kini Hotel Sultan—red) di Jakarta. Selanjutnya, saya dapat beasiswa mengikuti kursus memasak hidangan Cina di Taiwan serta kursus baking di Amerika Serikat. Saya bersyukur sejak kecil dilatih berbahasa Inggris di rumah oleh ayah saya.
Saya juga pernah menjadi Manajer Divisi Proyek Khusus di Femina Group. Barulah setelah itu saya mendapat tawaran untuk menjadi pembawa acara masak di televisi (Indosiar), berjudul Aroma. Meski bukan yang pertama, saya disebut sebagai salah satu pelopor (presenter) acara masak di televisi, bersama Rudy Choirudin dan beberapa yang lain.
Tak disangka, Aroma mampu bertahan sampai 11 tahun (1997-2008). Tak heran bila saya punya banyak penggemar sejak mereka masih anak kecil sampai sekarang sudah dewasa.
Saya juga berbagi ilmu memasak dengan menulis buku-buku resep. Saking banyaknya, saya sampai lupa jumlahnya, mungkin sekitar 150 buku. Bahkan ada buku saya yang sudah 23 kali dicetak ulang, juga ada yang dialihbahasakan ke Bahasa Inggris.
Yang selalu saya pegang teguh: Saya harus memastikan semua resep yang saya berikan mudah ditiru dan pasti jadi. Bukan hanya kelihatan hebat dan lezat di atas kertas.
Saya sama sekali tidak khawatir apalagi terancam dengan kehadiran para celebrity chef baru. Saya malah senang, karena itu berarti proses regenerasi berjalan. Setiap orang punya rezeki sendiri-sendiri. Saya bersyukur, di usia ini saya masih dipercaya membawakan acara masak di TV (O Channel).
Bila harus melakukan demo masak atau syuting acara memasak di televisi, sesibuk-sibuknya saya, saya tetap harus menulis skripnya sendiri, karena sayalah yang nanti harus mengeksekusinya di depan audiens atau kamera. Saya harus memastikan semua yang saya butuhkan tersedia, mudah dijangkau, mudah dilakukan.
Pada dasarnya saya lebih suka disebut guru daripada pakar kuliner atau celebrity chef. Saya senang membagi pengetahuan saya kepada sebanyak-banyaknya orang. Ilmu tidak boleh dirahasiakan atau disimpan sendiri. Namun, obsesi dan misi utama saya adalah memperkenalkan hidangan Nusantara seluas-luasnya ke dunia internasional. Saya suka iri melihat hidangan India, Thailand, bahkan Vietnam, yang lebih dikenal secara internasional.
Foto: Radhitya Wisnu Satriawan
Pengarah gaya: Nanda Djohan