
NURUL MELIHAT BETUL PERUBAHANNYA. Sidqi, anak manis yang sopan itu, yang penurut dan selalu tersenyum itu, berangsur-angsur menghilang. Yang kini hadir adalah Sidqi yang garang dan mudah emosi. “Sepertinya, ia menumpahkan emosi yang dipendam selama di sekolah,” kata Nurul.
Bagai bensin disulut api, Sidqi mudah meledak ketika disinggung sesuatu yang sensitif. Soal sekolah, misalnya. Dan jika sudah begitu, bukan cuma barang-barang di rumah yang porak poranda, Nurul juga mesti menerima berondongan peluru kata-kata.
“Aku nggak suka Ibu! Aku benci Ibu! Ibuku jahat!” pekik Sidqi suatu kali. Di lain waktu, ketika sedang marah hebat, ia meludahi Nurul. Nurul heran melihat Sidqi melakukan tindakan yang sama sekali tak bisa dibenarkan. Belajar dari mana dia?
Belakangan, Nurul mengetahui bahwa di SD tersebut, teman-teman sekelas Sidqi terbiasa bermain ludah di dalam kelas. Begitulah cara mereka bercanda. Masalahnya, yang seringkali diludahi adalah Sidqi.
“Saya teledor sekali, tidak langsung menggali lebih lanjut apa yang sesungguhnya terjadi,” tutur Nurul. Tapi yang lebih penting saat ini adalah, Nurul kini tahu bahwa perubahan Sidqi memang terkait dengan kehidupan di sekolah, dan sadar bahwa bullying benar-benar berdampak pada pribadi seorang anak. Plus… orang tuanya.
Dalam buku Panduan Melawan Bullying yang diterbitkan oleh situs Sudahdong.com, bullying dapat menyebabkan rasa trauma yang bisa menyebabkan efek negatif pada kejiwaan korban. Beberapa penelitian global juga mendukung pendapat serupa. Penelitian National Association of School Psychologist di Amerika Serikat, misalnya, menunjukan bahwa setiap harinya, 160.000 murid bolos sekolah karena takut di-bully, dan 1 dari 10 murid pindah sekolah karena takut menjadi korban bully.
Melissa Holt dari Boston University menemukan bahwa anak yang ditindas dapat melakukan bullying terhadap diri sendiri, sehingga membahayakan nyawa mereka sendiri. Sementara, jurnal Psychological Science menemukan bahwa korban bully lebih mungkin mengalami kesulitan dalam lingkungan pekerjaan, sulit menjaga persahabatan serta hubungan baik dengan orang tua mereka.
Nurul pun ingat bagaimana, di masa itu, ia menangis hampir setiap hari hingga matanya membengkak. Ia juga merasa gagal dalam membesarkan anak dan frustasi. Tak jarang ia memohon agar Sidqi menghentikan amukannya.
“Mas Sidqi nggak boleh ngomong begitu…” bujuknya suatu kali ketika Sidqi mengamuk. Namun bujuk rayu itu seperti tak berdaya.
“Aku nggak suka Ibu. Kalau Ibu nggak mau pergi, aku aja yang pergi. Biar Ibu nggak punya anak lagi!”
BULLYING BUKAN HAL ANEH DI DUNIA, bahkan di negara maju. Di Norwegia, menurut Dan Olweus dalam makalah Bullying at School (1993), sekitar 15% anak sekolah usia 7-16 tahun menjadi korban. Riset Olweus merupakan riset dengan sample terbanyak, yaitu 80.000 anak. Dan hasil tersebut senada dengan berbagai penelitian lain.Bullying tidak terpisahkan dari berbagai bentuk kekerasan lainnya. Kita pun tahu bahwa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, bullying kerap berujung kematian.
Di Inggris, misalnya. Menurut peneliti Peter Smith, dalam buku School Bullying: Insights and Perspectives (1994), sekitar 7% anak-anak di Inggris jadi korban bully setidaknya satu kali dalam seminggu. Di Australia, menurut Rigby, 16% anak sekolah jadi korban setiap minggunya.
Indonesia memiliki prevalensi serupa. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 369 pengaduan terkait bullying sepanjang 2011-2014. Tapi yang mengkhawatirkan adalah, angka tersebut meningkat 50% dalam rentang 2014-2015.
Data lain, dari Global School Based Health Survey (GSHS) 2007, satu survey dengan metodologi global yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan, Kementrian Pendidikan dan bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), menunjukan bahwa 50%, atau satu dari dua pelajar, mengalami bullying dalam 30 hari terakhir (survey yang sama juga dilakukan tahun ini, namun hasil akhir belum dipublikasikan).
Tren kasus bullying ini semestinya cukup untuk membuat berbagai pihak yang berkepentingan tak lagi tinggal diam. Apalagi, menurut Ali, “bullying tidak terpisahkan dari berbagai bentuk kekerasan lainnya.” Kita pun tahu bahwa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, bullying kerap berujung kematian. Selain melalui undang-undang perlindungan anak, pemerintah telah maju satu langkah dengan mengeluarkan beberapa peraturan baru, seperti Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, juga Permendikbud No. 8 tahun 2016 yang melarang adanya perpeloncoan di sekolah.
Presiden Joko Widodo sendiri, di awal 2016, mengatakan akan menyiapkan Peraturan Presiden terkait bullying, Sesuatu yang hingga saat ini masih kita tunggu perkembangannya.
Sambil menunggu, para orang tua diharapkan awas terhadap perilaku bullying yang menimpa anak mereka. Demi pertumbuhan anak, dan demi kesehatan psikis dan mental mereka sendiri.