Menikmati mengajar
Eva mulai mengajar shibori sejak dua tahun lalu. Ia tertarik setelah melihat sang suami yang mulai membuka kelas kayu manual tanpa mesin. Kini mereka berdua sudah sama-sama keluar dari pekerjaan kantoran dan menjadi seniman yang berkarya sekaligus mengajar. Keduanya berbagi studio yang sama. Eva mengaku, mengajar memang memberi penghasilan yang sangat besar dibanding ketika ia menjual kain-kainnya. Tetapi ada hal selain uang yang membuatnya senang mengajar.
“Saya selalu menemukan kasus-kasus baru di setiap kelas. Mulai dari warna yang tidak sesuai harapan, pewarna yang ‘mati’ sebelum digunakan, motif yang tidak presisi, semuanya membuat saya belajar lagi. Jadi bukan mereka saja yang belajar pada saya, saya juga ikut belajar,” ungkap Eva. Satu hal yang ia tekankan di kelasnya adalah bagaimana menghargai proses dan tidak puas dengan hanya menguasai satu motif.
Secara autodidak, Eva telah menguasai ratusan motif, yang semuanya ia pelajari dari buku-buku shibori dan latihan terus-menerus. Ia ingin peserta kelasnya juga bisa melakukan hal yang sama. “Kalau sudah mahir, saat melihat satu motif di buku, sudah terbayang bagaimana bisa menghasilkan motif itu dan bagaimana memadukannya dengan beberapa motif lain dalam satu kain.”
Menurut Eva, shibori membutuhkan ketelitian dalam banyak hal. Mulai dari pemilihan kain sebagai bahan dasar, pemilihan pewarna, teknik yang dipilih untuk menghasilkan motif, hingga memilih jam yang tepat untuk menjemur kain.
Untuk label Tjelup, ia selalu menggunakan pewarna alami. Sedangkan untuk kelasnya, Eva selalu menggunakan pewarna sintetis agar prosesnya tidak terlalu panjang. “Pewarna alami harus dicelup tujuh sampai delapan kali untuk mendapatkan warna yang diinginkan.”
Selain kelas berbayar, Eva mengadakan kelas tidak berbayar, bahkan pesertanya yang dibayar. Hal itu terjadi di Rusun Marunda, Jakarta Utara. Eva diminta oleh Dekranasda DKI Jakarta untuk mengajar mantan pekerja seks komersial (PSK). Para mantan PSK ini malah dibayar Rp15.000 setiap kali datang.
“Saya minta kepada Dekranasda untuk menyiapkan tempat yang memadai. Ruangan berpendingin dilengkapi kursi dan meja yang memang digunakan untuk workshop, perlengkapan jahit, pewarna. Marunda termasuk kelas saya yang panjang, sampai berbulan-bulan, sampai sekarang,” jelas Eva.
Eva menetapkan peraturan yang ketat untuk kelasnya itu. Misalnya, tidak boleh membawa anak, juga tidak boleh makan selama kelas berlangsung. Kegiatan ini juga didukung oleh hotel-hotel bintang lima di Jakarta yang menyumbangkan seprai putih yang sudah tidak boleh dipakai lagi setelah tiga bulan. Eva mengubahnya menjadi berbagai benda yang siap pakai, salah satunya apron. Tak lupa, di setiap kain hasil daur ulang, ia akan menyertakan cerita di balik kain agar pembeli bisa mengetahui dan menghargai prosesnya.
Hasil karya dari Rusun Marunda ini juga ia tunjukkan kepada Yang Mulia Ratu Silvia. “Sejak awal saya menekankan kepada Dekranasda bahwa saya tidak bisa membantu penjualan kainkain yang dihasilkan dari workshop. Saya hanya bisa mengajar, sebab saya orang kreatif, bukan orang bisnis atau marketing,” kata Eva.
Baginya, mengajar juga merupakan cara untuk menemukan bibit-bibit baru seniman shibori, terutama perempuan. Maka selain workshop reguler yang berbayar di studionya, ia senang mengajar tak berbayar. “Saya ingin perempuan bisa mandiri. Perempuan bisa menghasilkan uang dari keterampilannya sendiri. Saya berharap suatu hari bisa menemukan partner dari kelas-kelas saya, terutama dari Rusun Marunda,” ujar Eva.
“Tantangan saya adalah Generasi Millennials. Ada mahasiswa-mahasiswa tekstil yang mewawancarai saya untuk tugas akhir, tapi mereka tidak mau pegang kain. Mereka hanya menonton saya, seperti yang mereka lakukan kalau mengunjungi perajin, terutama di Pekalongan. Jadi saya tantang mereka: Kamu datang, kamu nyelup.”
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Siti H. Hanifiah
Rias wajah: Katarina Vera