Eva Joewono memperlakukan kain sebagai karya seni, bukan benda yang bisa diproduksi massal. Itu sebabnya ia tak ingin disebut perajin, tetapi seniman shibori.
Akhir Mei 2017, Eva berkesempatan untuk menunjukkan kain-kain karyanya dengan label Tjelup kepada Yang Mulia Ratu Silvia. Ratu Swedia yang sedang berkunjung ke Indonesia itu hadir di Jakarta Creative Hub atas undangan Jakarta Fashion Week dan Femina Group, dalam rangka kelas Fashion Forward, Fashion and Creativity in Indonesia and Sweden. Eva adalah salah satu seniman kain yang diundang. Ada pula Chitra Subyakto (Sejauh Mata Memandang), Novita Yunus (Batik Chic), serta Michelle Tjokrosaputro (Bateeq).
Eksistensi tidak diraih mendadak
Empat tahun lalu, ia masih karyawan perusahaan periklanan. Ia dan suaminya, Hendro, selama belasan tahun pernah menjadi karyawan di perusahaan media, sebelum beralih ke perusahaan periklanan. Sang suami yang sering syuting di luar negeri membuat mereka jarang sekali bertemu. Ini yang membuat Eva gelisah, lalu membicarakan kemungkinan salah satu dari mereka berhenti bekerja. Eva mulai mencari-cari apa yang bisa ia kerjakan saat tak lagi bekerja pada orang lain.
“Saya sebetulnya tertarik pada kulit. Tetapi, kulit yang paling bagus ada di Yogyakarta. Mahal di pesawatnya. Lagi pula bukan saya yang mengerjakan sendiri.” Ia kemudian bertemu seorang teman di Yogya yang memperkenalkannya pada teknik shibori. “Saya sangat tertarik mempelajari teknik ini. Awalnya dengan guru, setelah itu belajar sendiri,” kenang Eva saat ditemui di studionya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Eva belajar dengan Yuvita dan Takako (dari Jepang) selama berada di Yogya.
Kembali ke Jakarta, Eva membeli banyak buku tentang shibori dan belajar membuat motif dari bukubuku tersebut. Ia juga memanfaatkan YouTube dan Pinterest. “Saya orang yang paling tidak sabar. Tetapi shibori mampu mengajarkan saya tentang kesabaran, tentang menghargai proses. Saya bisa mengerjakan satu kain selama dua minggu dan saya menikmatinya,” ungkapnya. Hal ini pula yang membuat Eva semakin tekun belajar.
Proyek idealis Setelah satu tahun belajar, ia memutuskan untuk menjual kainnya. Tetapi ia mendapat pelajaran baru setelah terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Kain itu luntur. Waktu itu saya masih pakai pewarna sintetis. Saya cari tahu kenapa bisa luntur dan bagaimana supaya tidak luntur lagi. Saya ‘tiarap’ satu tahun, kerja sendiri. Padahal saya sangat suka bergaul.” Menghilangnya Eva selama satu tahun pun membawa hasil. Ia melanjutkan produksi Tjelup dengan pewarna alam. Semua kain yang berhasil terjual ia posting di Instagram @tjelup. Ini yang membuatnya berbeda dari label lain.
Jika label lain posting foto kain yang siap jual, maka Eva hanya posting foto kain yang sudah terjual. Ia memang tidak berniat menjadikan Instagram Tjelup sebagai online shop, tetapi sebagai bukti keberhasilan ia memproduksi sebuah kain. Eva menjual kain-kainnya secara personal. Ia bahkan melayani konsultasi pribadi via fitur message di Instagram maupun via WhatsApp. “Kayak beli motor, ada aftersale service,” ujarnya, bercanda.
Yang ia maksudkan adalah para pembeli Tjelup bisa konsultasi cara merawat kain agar tidak luntur atau berubah warna. Pembeli juga bisa memesan sesuai keinginan untuk acara-acara tertentu, atau meminta reproduksi kain yang pernah dibeli oleh pembeli lain, dari foto-foto Instagram Tjelup. “Saya bisa membuatkan kembali tetapi saya beri tahu bahwa hasilnya tidak akan sama persis.”
Eva juga mengaku bukan penggila pameran. Sadar bahwa kain yang ia produksi tidak banyak, ia pun hanya mengikuti open house yang biasanya digelar Paisley Things dan Rooftop Kemang. Dari open house itu ia mendapatkan pembeli dari luar negeri. Karya Eva juga pernah dibawa temannya ke Frankfurt Book Fair saat Indonesia menjadi guest of honor.
Ciri khas Eva yang menonjol adalah teknik jahit. Tidak banyak yang memproduksi kain shibori dengan teknik jahit. “Itu favorit orang asing, bahkan mereka sering minta jahitannya tidak dibuka,” jelas Eva. Untuk satu kain penuh, Eva biasanya menjahit tiga sampai empat hari, lalu mencelupnya. Setelah seluruh proses dilewati, jahitan perlu dibuka untuk mendapatkan motif yang diinginkan. Namun para bule itu lebih suka jahitannya tidak dibuka karena bentuknya yang unik.
Hingga kini, Eva mengaku masih bekerja sendiri untuk memproduksi kain-kain tersebut. Ia memang dibantu oleh dua orang, namun itu sekadar membantu di tahap tertentu dan tidak secara keseluruhan. “Saya sedang mencari rekan artist yang bisa menghargai proses seperti saya. Saya tidak ragu untuk berbagi hasil selama ia bekerja sesuai standar saya,” ujar Eva.