
Manifestasi naluri klasik
Bayangkan apa yang akan Anda lakukan jika rumah Anda dimasuki orang tak dikenal (dan kemungkinan besar mencurigakan)? Saya rasa jawaban Anda akan sama dengan saya. Orang tersebut akan Anda suruh pergi meninggalkan rumah Anda. Itu adalah sistem pertahanan diri alami jika ada yang mengintervensi ruang pribadi Anda.
Kondisi di atas sekadar analogi. Perubahan akan selalu terjadi selama Anda hidup. Dan setiap perubahan pasti akan mengganggu kestabilan kehidupan Anda. Bukan orang dewasa saja yang mengalami hal ini, sejak kecil pun Anda tidak kebal dari masalah ini.
“Bagaimana kakaknya, iri nggak ada bayi di rumah?” Topik ini biasanya muncul ketika anak kedua lahir dalam keluarga. Sang kakak yang biasanya mendapatkan perhatian utama dari kedua orang tua tiba-tiba harus berbagi. Apakah ia nyaman berbagi? Mungkin tidak.
Apakah itu harus dilakukan? Tentu saja, kalau mau hidup dengan rukun. Dalam buku What Do You Want from Me? Dr. Terri Apter, psikolog dan pengajar senior di Newnham College, Cambridge, menyatakan, konflik yang terjadi antara ibu mertua dan menantu perempuan muncul karena asumsi bahwa masing-masing pihak mengritisi atau melecehkan pihak lain.
Hadirnya rasa ini tidak semata-mata karena sifat masing-masing individu, tetapi lebih kepada pengetahuan akan stereotip wanita pada umumnya. Masing-masing ingin memiliki status sebagai wanita utama dalam keluarga, tulis Apter, dan mereka berusaha mempertahankannya. Karena itu, keduanya merasa terancam.
Ini adalah masalah klasik. “Keduanya sama-sama punya kepentingan, ingin merasa in charge,” kata Ratih Pramanik, Konselor Personal Growth. Seorang ibu punya ikatan dengan anak sejak ia masih di kandungan. Di benaknya, ia merasa tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Saat istri datang, ia pun merasa demikian.
Saya pernah membaca cerita tentang hubungan menantu dan mertua. Sang penulis memuji ibu mertuanya. Ia bahkan mengaku memiliki lebih banyak kesamaan dengan ibu mertuanya daripada dengan ibu kandungnya. Ibu mertuanya pun tidak pernah usil soal kehidupan rumah tangga anaknya.
Tapi secara tidak sadar, setiap kali ia bercerita kepada mertuanya, walau topiknya tidak berkaitan dengan sang suami, ia berulang kali menggunakan kata kami, bukan saya. Itu juga restoran favorit kami; kami senang sekali saat berkunjung ke tempat itu, lain waktu kami akan mengajak Ibu. Begitu kira-kira. Ini bisa dianggap sebagai upaya pengukuhan status wanita utama dalam keluarga tadi.
Sebagian besar masalah menantu dan mertua berinti pada ekspektasi dan asumsi yang berkonflik. Apter mencontohkan, kebanyakan menantu memiliki asumsi, semodern apa pun ibu mertua, mereka akan dinilai berdasarkan kemampuan mereka mengurus rumah tangga seperti memasak dan kemampuan reproduksi mereka. Di saat bersamaan, mertua merasa menantu menafikan keputusan mereka terdahulu ketika melakukan tindakan berbeda dari dirinya.
Atas nama feminisme atau mungkin girl power, para menantu juga berasumsi mereka bisa bersekutu dengan ibu mertua ketika mereka memiliki masalah dengan sang suami. Tapi tentunya, kasih sayang seorang ibu mengalahkan segalanya, termasuk ikatan sisterhood antara ibu mertua dan menantu perempuannya. Masing-masing pihak akhirnya harus menanggung kekecewaaan akibat hal ini, sebuah formula jitu untuk memupuk konflik sepanjang zaman.