
Pertikaian antara menantu perempuan dan ibu mertua mungkin bisa diibaratkan Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dulu. Sepertinya aman karena tidak ada perang terbuka, tapi diam-diam selalu berlomba menyiapkan senjata.
“Ia seperti saya, tidak cocok sama mertua,” begitu kelakar salah satu teman perempuan saya. Saya, dia, dan lima teman perempuan lainnya sudah berteman selama puluhan tahun. Begitu dekatnya pertemanan kami, ketika ia memiliki anak perempuan yang usianya tidak jauh berbeda dari anak laki-laki teman kami yang lain, obrolan tentang perjodohan pun terjadi. Agar kita semua menjadi saudara sungguhan, begitu kata mereka.
Teman saya pun punya panggilan istimewa. Bukan “tante” seperti kami-kami ini, tapi mama mertua. Memang ini hanya bercanda. Namun komentarnya tentang ketidakcocokan dengan ibu mertuanya tampaknya ada benarnya.
Katanya, perang yang tak pernah usai terjadi pada ibu dan anak perempuannya. Namun, apa pun yang terjadi, tidak akan pernah ada mantan ibu. Seorang ibu yang melahirkan kita akan tetap menjadi ibu kita. Begitu pula sebaliknya, tidak ada mantan anak. Kondisi ini menjadi berbeda ketika ada ibu lain yang datang di kehidupan kita, ibu mertua.
Hubungan antara ibu mertua dan menantu perempuan sering digambarkan tidak rukun. Ketidakharmonisan tersebut telah menjadi umum sehingga jika Anda tak akrab dengan ibu mertua, itu bukan hal yang luar biasa. Bahkan ada tanaman yang disebut sebagai lidah mertua—bentuknya tajam-tajam, seakan menggambarkan sifat ibu mertua yang katanya suka mengritik menantunya dengan tajam.
Perang dingin antara mertua dan menantu bisa membuat 'dunia' suami dan anak menjadi kurang nyaman.