Kursus yang singkat namun intensif itu (kelas berjalan setiap hari) turut membentuk pandangan Sophie tentang diet. Baginya, makanan merupakan “frienemy.” Makanan bisa menjadi teman tubuh, jika seseorang memperlakukannya dengan benar dan penuh kesadaran. Tetapi bisa juga menjadi musuh bagi tubuh, jika tidak dipikirkan sama sekali.
Prinsip itulah yang kemudian mendorongnya membangun komunitas Indonesia Makan Sayur, yang bertujuan mengajak masyarakat Indonesia kembali ke makanan whole food. Menurutnya, orang Indonesia sudah pintar kalau makan daging atau jajanan. Tetapi kalau urusan mengolah sayur, itu yang belum. Meski demikian, Sophie menegaskan bahwa komunitas itu “Bukan mengajak orang menjadi vegan, ya, bukan!”
Meski demikian, Sophie mengakui bahwa dulu ia sempat terlalu gandrung pada raw food. Menurut teori asalnya, salah satu ‘syarat’ menjadi raw-foodist adalah menjadikan 50% pangan yang dikonsumsi setiap hari berupa raw food. Itu berasal macam-macam, bisa dari lalap, jus, dan sebagainya. Kala itu tahun 2012, dan mulanya Sophie baik-baik saja.
Sophie berhasil mendapatkan semua manfaat mengonsumsi raw food. Tubuhnya terasa enak. Badan langsing, kulit bersih dan cerah, dan tidak pernah bermasalah dengan saluran pencernaan. Hal itu berlangsung selama sekitar tiga tahun. Pada rentang itu, Sophie banyak berbagi dengan orang, baik melalui tulisan maupun resep.
Masalah datang pada 2014. “Mulai ada ‘goyangan’,” ungkap Sophie. Ada fase saat tubuhnya menjadi mudah kedinginan di ujung jari-jari tangan dan kaki, serta perut. Ia juga merasa tubuhnya bloated, kembung penuh air. Sophie lantas mengendurkan dulu dietnya. “Saya mencari, berusaha menemukan kesalahan, lalu memikirkan apa yang mesti diubah,” kenang Sophie. Dan pencarian itu membawa hasil.
Sekali lagi dalam hidupnya, Sophie melampaui ujian yang diberikan. Sophie sampai pada kesimpulan bahwa hal itu bukan karena pola makan yang keliru, tetapi karena ia mengacuhkan badannya. Bukan dietnya yang salah, tapi tubuhnya membutuhkan sesuatu yang lain.
Baginya, menjadi raw-foodist di Indonesia tidak sama dengan di northern hemisphere, misalnya. Apa yang bekerja buat mereka belum tentu pas dengan kita. Beberapa cocok dengan diet paleo, yang lain cocok dengan food combining. Diet mesti sesuai dengan situasi dan kondisi fisik serta mental seseorang, dan semua itu pun tetap bisa berubah.
“Intinya, dengarkan tubuh Anda,” jelas Sophie. Dia sendiri menemukan tubuhnya perlu yang hangat-hangat. Ia suka menyeduh jahe, misalnya, atau kapulaga. Padahal, itu haram bagi raw-foodist ekstrem, yang cuma membolehkan perendaman dengan suhu air suam-suam kuku.
Kini Sophie lebih menekankan keseimbangan. Dan ia melakukan itu dengan ‘mendengarkan’ tubuhnya. Ketika tubuh perlu kopi, ia minum kopi. Ketika tidak, ia tak memaksakan diri, dan karena itulah dia menolak tawaran kopi dari PESONA siang tadi.
Sophie juga menekankan pentingnya makan dengan berkesadaran. “Kalau kita mau jujur, tidak ada satu pun pola makan di dunia ini yang bisa dipakai seumur hidup. Dulu wisdom saya belum sampai. Jadi, belum lengkap saat menjelaskan ke orang. Kalau boleh jujur, saat ini saya lagi berusaha membersihkan itu semua dengan menunjukkan pola hidup yang natural bagi tubuh saya.”
Saya bertanya apakah seseorang mesti melalui fase coba-coba sebelum menemukan yang terbaik. Menurut Sophie, beberapa orang memang begitu. “Banyak yang mesti melalui fase mencoba-norak-sombong rohani nabrak-tembok-denial-denial-lagi baru sadar. Padahal, kalau mau mengalah pada suara hati, semua akan lebih mudah dan feels good,” katanya.
Tetapi bagaimana cara mendengarkan tubuh sendiri? Saya penasaran. Pasca berdoa pagi, Sophie menyarankan untuk berdiam diri, memejam mata dan bernapas. Sisihkan 5-10 menit untuk silent moment. Kita menjadi lebih sadar.
Kesadaran baru Sophie, pada akhirnya, tak hanya berdampak dalam urusan makan, tetapi hidup secara keseluruhan. Suara hatinya, atau true calling, Sophie menyebutnya, menjadi pemandu ke mana ia mesti bergerak mencari kebahagiaan.
Itu pula yang mendorongnya pindah ke Bali, tempat yang tidak pernah ia cita-citakan untuk ditinggali. Suara hatinya meminta ia menepi sejenak dari kiruk pikuk kota besar, demi diri dan keluarga.
“Itu yang saya coba sampaikan di buku. Bahwa makan sehat saja belum cukup untuk memperoleh kebahagiaan,” jelas Sophie. “Hidup memang sulit, semua juga tahu. Tetapi dengan mengikuti suara hati, kamu tidak membuatnya semakin sulit, karena kamu mengetahui purpose kamu di dunia ini.”
Apa tujuan hidup Anda? tanya saya menjelang akhir wawancara. “Saya adalah speaker, teacher dan healer,” jawab Sophie. Suaranya merefleksikan keyakinan. Baginya, menjadi MC, aktris, penyanyi, chef, atau apa pun pilihan kariernya kelak, hanya merupakan medium untuk berbicara dan membantu orang lebih banyak lagi.
Hari sudah sore dan obrolan kami berakhir. Saya merasa terinspirasi dan berharap bisa bertemu kembali. Mungkin, kelak ditemani secangkir kopi.
Foto: Albert Prabowo
Pengarah gaya: Erin metasari
Busana: Tory Burch, Alexander McQueen, Burberry
Sepatu: Tory Burch
Rias dan rambut: Gery Gerson D.
Lokasi: Kopikalyan, Jakarta Selatan