Sophie Navita mengungkapkan bahwa karier sebagai MC, penyanyi, aktris, dan chef hanyalah medium untuk sesuatu yang lebih besar dan substansial.
“It’s not my coffee day,” jawab Sophie ketika kami menawarkan kopi di sela-sela pemotretan untuk PESONA. Saya menemukan jawaban itu menggelitik. Jika ini bukan hari minum kopi, maka kapan ia minum kopi? Dan adakah hari-hari lainnya? Hari makan petai, misalnya, atau hari bebas MSG.
Sejak beberapa tahun terakhir, nama Sophie Navita memang kerap berasosiasi dengan gaya hidup dan pola makan sehat, mulai dari sebagai pegiat sayuran, plant-based chef, raw-foodist, dan sebagainya. Ia pernah meluncurkan buku-buku elektronik berisi resep masakan sehat, serta buku fisik berjudul Hati yang Gembira adalah Obat (2016). Jadi, jawaban Sophie tadi sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan.
Siang itu Sophie datang ke Kopikalyan, satu kedai kopi di Jakarta Selatan, dengan pakaian kasual—tidak berlebihan, apalagi bermewah-mewahan. Tapi ada satu hal yang mencuri perhatian: Di usia 41 tahun, Sophie tampak seperti… remaja! Kulit dan tubuhnya tampak sehat dan bugar, dengan wajah serta gerak-gerik penuh vitalitas. Saya menduga itu karena diet sehat. Belakangan, saya tahu bahwa itu tak sepenuhnya benar.
Hari sudah menjelang sore ketika sesi pemotretan berakhir. Saya pun bertanya tentang sosok Sophie di usia 12 tahun (sosok yang ia gambarkan di awal bukunya). Mengapa Sophie kecil itu begitu spesial sehingga menjadi pembuka buku. Dan perbincangan kami pun dimulai.
“Setiap orang yang mencari ke dalam diri pasti menyadari titik di mana perjuangan hidup dimulai, perjuangan yang kelak membentuk orang itu. Dan itulah Sophie yang berusia 12 tahun,” ungkap Sophie. Jika ada perubahan besar dalam hidup Sophie, maka salah satu yang pertama dialaminya adalah saat itu.
Sophie Navita lahir dan tinggal di Singapura, hingga keluarga membawanya pindah ke Jakarta saat ia berusia 12 tahun. Bagi orang dewasa, mungkin perpindahan yang relatif dekat itu bukan suatu masalah besar. Tapi tidak bagi Sophie kecil.
“Saya mengalami culture shock,” kisah Sophie. Ia tidak mengenal siapa-siapa di Jakarta. Plus, ia punya kendala soal bahasa. Di Singapura, bahasa administrasi adalah Bahasa Inggris. Sophie bisa Bahasa Melayu, tapi bukan Melayu- Indonesia. Ia kesulitan dalam menggunakan “dong” dan “deh.” “Bayangkan, waktu itu saya masih anak-anak. Habis saya dikatain anak-anak lain.”
Bahasa telah membuat Sophie berbeda dan sulit membaur. Hal itu bahkan membuatnya menjadi korban bully selama tiga tahun menjalani SMP. “Orang yang membully sekarang malah jadi teman. Tapi sampai sekarang pun dia seperti tidak menyesal telah mem-bully saya,” kenang Sophie. Bullying itu baru berhenti seiring pembelajaran Sophie dalam beradaptasi. Dan terbukti ia berhasil.
Beranjak dewasa, Sophie memiliki berbagai macam karier—dari master of ceremony (MC), akting (sinetron Cerita Cinta dan Cinta Seputih Melati, serta Drama Monolog: Cairan Perempuan), modeling, juga penyanyi—Sophie sudah merilis dua album, yaitu Filosophie (2009) dan Sophie (2011).
Saya pun bertanya kepada Sophie tentang pilihan berkarier di dunia hiburan, serta kapan dan bagaimana ia menemukan passion-nya. Saya terkejut ketika mendengar bahwa ia menemukan passion-nya sewaktu berumur sembilan tahun, saat menjadi pembawa acara program Just Kids di televisi Singapura.
“Ya, itu kiprah pertama saya di TV. Di situ saya tahu. I was made to talk to people, membuat mereka mendengar dan merasa lebih baik,” ungkap Sophie. Berbeda dari orang pada umumnya, Sophie bisa tenang dan natural di depan kamera. Baginya, tak ada beda antara berbicara dengan satu orang atau dengan satu stadion.
Meski demikian, bukan berarti rasa grogi itu hilang sama sekali. Ia tetap ada, meski Sophie melihatnya hanya sebagai tantangan. Ia mesti bisa menarik perhatian orang, menguncinya dan lantas memandu mereka di sepanjang acara hingga usai. Menurutnya, “Rasa grogi itu menyenangkan. Di situlah adiktifnya.”
Anda pasti suka mencoba hal-hal baru, ya? “Hmm.… Menurut anak-anak saya, sih, iya,” jawab Sophie. “Saya pernah bertanya kepada mereka, dan mereka bilang iya.”