
Lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara (semuanya perempuan), Yuni Shara dan adik-adiknya dididik untuk menjadi anak mandiri.
“Mama seorang single mom dan mendidik kami dengan keras. Kami semua diajarkan untuk mandiri. Kami dulu tidak pernah punya pembantu, sehingga semua harus melakukan sendiri berbagai pekerjaan rumah tangga. Makanya, sampai sekarang saya dan Yanti sudah terbiasa cuci piring sendiri, masak, atau membersihkan rumah, meskipun orang luar mengenal kami sebagai selebriti.”
Sebagai anak sulung, Yuni juga jadi tempat keluh-kesah adik-adiknya, terutama Krisdayanti. “Hubungan saya dan Yanti sangat dekat, mungkin karena usia kami hanya terpaut tiga tahun.”
Ia mengaku beruntung dikenal sebagai penyanyi yang sering menyanyikan lagu-lagu nostalgia dengan aransemen baru. “Lagu-lagu yang didaur ulang biasanya merupakan lagu-lagu yang sangat terkenal pada zamannya. Jadi siapa pun, dari generasi ke generasi, pasti ingat dan menyukainya,” ujar Yuni, yang tetap laris diundang menyanyi, termasuk di acara-acara reuni.
Bahkan sejak 20 tahun lalu hingga sekarang, ia masih rutin diundang menyanyi di istana. Sejak kecil ia memang senang menyanyi, tapi dulu tak terbayang ia bakal menjadi penyanyi profesional. Meski saat ini ia punya beberapa bisnis (ia tak mau bicara tentang ini), “Nafkah utama saya tetap dari menyanyi.”
Agustus lalu ia menyanyikan satu lagu, Selamanya Aku Untukmu—versi Bahasa Indonesia dari lagu Mandarin berjudul Tong Hua—untuk mengisi soundtrack sinetron Saur Sepuh. Lagu yang sama, tapi dengan aransemen berbeda, juga diluncurkannya sebagai single. “Lagu ini ikut menandai pencapaian saya di usia 45,” ujarnya.
Kesejahteraan anak-anak dan remaja, terutama yang berasal dari kalangan tak mampu, juga menjadi kepedulian Yuni. “Saya sudah diberi banyak oleh Tuhan, maka saya ingin berbagi dengan mereka yang kurang beruntung,” katanya, perlahan.
Di Batu, kota kelahirannya, ia mendirikan PAUD, Taman Kanak-Kanak, dan TPA (tempat penitipan anak) bernama Cahaya Permata Abadi. “Muridnya sudah sekitar 100 orang. Punya tim drumband sendiri. Biayanya Rp2.500 per kedatangan. Gurunya 14 orang, semua hebat dan terlatih,” cerita Yuni, senang.
Ia juga diminta menjadi pembina di Garuda Baru, komunitas anak jalanan di Jakarta, yang orang tuanya bekerja sebagai tukang koran, tukang sapu, tukang sayur, dan sebagainya.
Yuni bahkan pernah hadir sebagai wali murid seorang anak binaannya, siswa SMA di Cengkareng, di acara perpisahan sekolah. Orang tua anak itu tidak bisa datang karena harus bekerja sebagai tukang sayur di pasar.
Bisa diduga, kehadiran Yuni membuat heboh satu sekolah. Ia juga ikut memfasilitasi keberangkatan 30 orang anak binaannya untuk menimba ilmu sepakbola melalui program Street Child World Cup 2014 di Brasil.
Awalnya, ia mendapat hambatan karena anak-anak itu kebanyakan tidak punya akte lahir, sehingga tak bisa mengurus paspor dan visa. “Saya sampai datang menemui Pak Jokowi (waktu itu masih menjadi Gubernur DKI Jakarta—red) untuk minta bantuan. Ternyata beliau sangat mendukung dan mempermudah permbuatan akte lahir anak-anak itu,” kenang Yuni, yang aktif mengulurkan tangan setiap kali terjadi banjir di Jakarta.
Bagaimana ia mengatur waktu untuk semua kegiatan sosial itu di antara kesibukannya yang seabreg sebagai penyanyi dan pebisnis? “Kalau benar-benar diniati, pasti ada waktu,” katanya, tersenyum.
Foto: dr. Tompi @Glymps
Pengarah gaya: Erin Metasari
Rias wajah dan rambut: Henz