Habit information
Banyak perusahaan besar yang ambruk di era digital menyalahkan bagian pemasaran mereka dengan beragam tuduhan: Mereka tidak tahu cara berjualan online, mereka berpikir konservatif, tidak inovatif, dan seterusnya. Tuduhan-tuduhan itu bisa jadi benar, namun bisa pula keliru atau kurang lengkap.
Menurut Cyltamia, secara esensi, marketing di ranah offline maupun online, sesungguhnya sama saja. “Tujuannya adalah lebih dekat dengan konsumen,” ujarnya. Itu artinya, semua ini hanya masalah adaptasi dari offline ke online. Tetapi sesungguhnya ada satu hal penting lain yang sering luput dari perhitungan. Memiliki data dan informasi adalah satu hal, namun yang tak kalah penting adalah memperhitungkan faktor kebiasaan.
Ilustrasinya seperti ini. Dahulu, orang terbiasa belanja makanan di toko makanan, belanja mainan di toko mainan, belanja pakaian di toko pakaian. Jadi, meski toko pakaian itu menjual mainan, konsumen tak akan menggubris. Mengapa? Karena sudah jadi kebiasaan. Contoh lainnya, ketika Anda bangun di pagi hari dan mengambil sikat gigi. Secara ‘otomatis’, Anda juga akan mengoleskan odol. Karena begitulah kebiasaannya bertahun-tahun. Tanpa odol, ada yang kurang, ada yang janggal. Tetapi apa sesungguhnya kebiasaan?
Saya berbincang-bincang dengan Prof. Taruna Ikrar, M. Pharm., MD., PhD dari University of California soal kebiasaan. Taruna adalah pakar neurosains yang beberapa waktu lalu didaftarkan sebagai kandidat penerima Nobel Kedokteran 2016.
“Kebiasaan muncul karena pembelajaran. Apa yang kita dengar, lihat, rasakan, masuk ke memori di otak,” jelas Taruna. “Jika satu hal dilakukan terus-menerus, kebiasaan terbentuk. Dan sebuah proses pengambilan keputusan adalah perpaduan antara kesadaran dan kebiasaan. Semakin terbiasa, semakin cepat keputusan diambil—dan seolah tanpa kesadaran.”
Menurut Ann Graybiell, pengajar di Department of Brain and Cognitive Sciences, Massachusetts Institute of Technology, AS, dalam makalah Habit Formation (2016), ada tiga syarat yang harus ada agar kebiasaan bisa tercipta: Cue (pemicu), routine (pengulangan), reward (hadiah). Taruna juga menambahkan syarat keempat, yaitu punishment (hukuman).
Ketika kebiasaan sudah terbentuk, maka segala sesuatunya terjadi dengan seolah otomatis. Dan jika sesuatu sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi konsumen, maka perkara berpindah dari satu toko ke toko lain sama sekali bukan hal mudah.
Sementara, di sisi lain, itulah celah yang mesti dieksploitasi para pebisnis online dan pemilik e-commerce. Mereka mesti mengubah kebiasaan ‘kuno’ dan menawarkan hal baru. Mereka mesti mengubah perilaku orang yang berbelanja di banyak toko. Alasannya praktis: kalau kita bisa membeli semua kebutuhan hanya di satu tempat, kenapa tidak?
Tetapi, mungkinkah kita mengubah kebiasaan? Dan bagaimana cara memanfaatkan data dan statistik untuk mengubah kebiasaan?