Mengolah data, menuai informasi
“Trial and error itu mahal harganya,” kata Cyltamia Irawan, CEO dari Lentera Consulting, satu perusahaan konsultan pemasaran, saat saya menanyakan apakah setiap pebisnis mesti selalu mencoba-coba strategi.
Cyltamia tidak membantah bahwa terkadang itu perlu dilakukan. Tetapi ia menambahkan bahwa, di era internet, ada banyak cara untuk membuatnya lebih praktis dan efisien: Data crunching. “Di era internet, data bisa dikumpulkan dengan mudah dan murah. Anda bisa membuat polling dengan Google Docs, dan menyebarkan via WhatsApp. Atau, sistem rating yang dipakai Go-Jek, misalnya. Nah, data itulah yang nantinya mesti diolah menjadi informasi-informasi, untuk
mempermudah pengambilan keputusan,” jelas Cyltamia.
Banyak perusahaan besar, baik di dunia maupun di Indonesia, jatuh lantaran lalai akan hal tersebut. Mereka punya uang, punya sarana dan prasarana, punya sumber daya manusia, punya teknologi, namun gagal menerjemahkan data menjadi informasi, yang kemudian bisa menjadi basis pengambilan keputusan.
Dr. Renee Barnes, pengajar Jurnalisme Data dari University of the Sunshine Coast, Australia, mengungkapkan kepada saya soal fenomena situs media Buzzfeed. “Buzzfeed populer karena mereka memiliki algoritma khusus. Mereka mengumpulkan data soal mana saja konten yang ‘laku’. Dari situ, didapat informasi tentang minat pembaca. Dan kemudian mereka memperkuat konten tersebut, tanpa meninggalkan yang lain,” katanya.
Dan menurut Barnes, di era persaingan bebas internet, mekanisme tersebut tak cuma berlaku di bisnis media, namun bisnis apa saja, termasuk e-commerce. Cyltamia mengatakan hal serupa. “Tanpa mengerti data, kita seperti orang buta yang berjalan tak tentu arah.”
Pemahaman soal data dan informasi—yang berujung pengenalan lebih mendalam terhadap konsumen—itu juga yang kini jadi acuan perusahaan dalam membeli iklan di ranah online. Mereka, tentunya, ingin beriklan di tempat-tempat konsumen dan calon konsumen mereka berkumpul. Dan dengan data, sangatlah mungkin mengetahui hal tersebut secara presisi.
Fabelio, misalnya, memilih menyediakan “experimental budget (begitu Fanie menyebutnya)” lebih untuk beriklan di Google Paid Search dan Facebook Display Banner. Keduanya terbukti paling banyak mendatangkan traffic dan sales. “Meski begitu, kami tetap beriklan di berbagai tempat lain, karena itu tetap perlu,” jelas Fanie.
Sociolla sedikit berbeda. Selain Google Ads, mereka sering memakai Facebook dan YouTube sebagai sarana promosi dan sumber pengolahan data. “Salah satu cara yang bagus memasarkan produk kecantikan adalah dengan membuat tutorial, beauty journal atau product knowledge untuk edukasi orang di saluran Sociolla,” jelas Ivan.
Ketika data telah diubah menjadi informasi, hal tersebut akan serupa lilin yang menerangi peta persaingan pasar, serta menerangkan secara gamblang mengenai bagaimana perilaku para konsumen. Jika sudah demikian, maka masalah yang tersisa tinggal satu: Kebiasaan.