Pebisnis online banyak bicara media sosial, follower, influencer, adsense, traffic dan seterusnya. Tapi sedikit yang sadar bahwa semua berujung pada satu hal: Menyabotase kebiasaan lama.
The big data
“Kapasitas, pemain, dan market,” ungkap Fanie Fikri, Vice President Marketing Fabelio ketika saya bertanya mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keputusan berdirinya Fabelio, satu situs e-commerce perabot rumah tangga, pada Juni 2015. Sebelum mendirikan, mereka telah menghitung kekuatan, peluang dan tantangan yang ada. Misalnya, Indonesia punya material mentah furnitur berkualitas wahid dan terkenal di dunia. Juga, belum ada pemain perabot rumah tangga online di Tanah Air.
Namun mereka juga punya tantangan berupa stigma ‘membeli furnitur tidak segampang membeli pakaian’. Fanie bilang bahwa mereka mengalkulasi dengan rinci kapasitas modal mereka, mendata para pemain (kompetitor) yang ada, dan mengeksplorasi niche market yang disasar.
Mereka lantas memasukkan faktor penetrasi internet di Indonesia yang sebesar 70% ke dalam kalkulasi, jumlah orang yang terbiasa atau mau berbelanja online, serta seberapa banyak orang yang potensial membeli furnitur secara online. Dari situ, mereka menemukan scale of business.
Scale of business ini sangat penting untuk mengetahui apakah pasar yang disasar itu cukup besar untuk bisa ‘menghidupi’ Fabelio. Dan begitu seluruh perhitungan ternyata ‘cocok’, Fabelio pun berdiri. Dan Fabelio bukan satu-satunya yang melakukan hal semacam itu.
“Semua orang mesti tahu bahwa, di dunia online, apa pun bisa didata,” jelas Ivan Aditya, Vice President Digital Marketing Sociolla, situs e-commerce yang berfokus pada produk kecantikan. Sociolla sendiri baru berdiri pada Maret 2015, namun kini pengunjungnya sudah 2.000.000 sesi per bulan. Mereka jual 5.000 macam produk dari 150 merek kosmetik, lokal maupun internasional.
Ketika saya menanyakan soal ‘insting bisnis’ yang biasa dipakai pebisnis konservatif dalam mengambil keputusan, ia terdengar ragu. “Insting bisnis is good. Cuma kalau mau survive di era digital, harus dilengkapi data. Dulu, mengumpulkan data agak sulit dan makan waktu, sehingga banyak keputusan dilandaskan pada insting bisnis. Sekarang, dengan dilengkapi data, insting bisnis bisa menjadi lebih tajam lagi. Kini, apa pun bisa ‘didatain’,” ungkapnya.
Begitulah dunia bisnis online. Inilah sebuah era baru ketika data adalah harta. Dan lebih dari kapan pun di sepanjang sejarah bisnis, data memainkan peran yang begitu vital dan menentukan.
Kini, semua hal bisa terukur dengan presisi, dan karenanya siapapun mesti menoleh pada data dalam pengambilan keputusan. Hal itu lantaran implikasinya bisa begitu besar dan merembet ke mana-mana: Bujet promosi bisa ditekan, bisa disalurkan tepat sasaran. Pebisnis juga bisa mengenal lebih detail siapa konsumennya, berikut kebiasaan dan perilakunya. Dan ke depannya, pebisnis akan bisa ‘meramal’ dan lantas menjemput bola. Inilah yang dinamakan predictive analytics.
Hampir seluruh perusahaan digital besar di dunia saat ini memiliki departemen predictive analytics. Mereka menyadari potensinya: Dengan memahami kebiasaan dan perilaku konsumen, mereka akan lebih efisien dalam memasarkan produk, dan itu membuat mereka selangkah lebih maju dari kompetitor.
Andreas Weigend dari Amazon mengungkapkan kepada The New York Times bahwa, “Saat ini semua orang seperti sedang dalam perburuan merekrut ahli statistik.” Dan Weigend tidak berspekulasi. Weigend tahu bahwa pengetahuan atas kebiasaan dan perilaku adalah kunci memenangkan persaingan.
Salah satu riset dari Duke University, Durham, AS, menyatakan bahwa 45% pilihan kita setiap harinya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat secara ‘sadar’, melainkan karena kebiasaan. Dan 45% adalah angka yang besar.
Ada banyak contoh—yang bahkan di luar konteks bisnis online—tentang betapa pemahaman atas kebiasaan dan perilaku menjadi penentu kemenangan. Di zaman purba, kemampuan mengenali pola bintang di langit dan perilaku hewan membawa nenek moyang kita yang seorang pelaut bisa pergi dan pulang dengan selamat ke rumah.
Di era modern, Tony Dungy, seorang pelatih football di Amerika Serikat, berhasil membawa tim gurem asuhannya ke puncak karena menggunakan statistik dan kebiasaan pemainnya dalam membangun strategi. Tim kampanye Obama menyewa “chief scientist” untuk menemukan pola dan pemicu yang bisa membuat publik memberikan suaranya. Dan inilah yang menjadi penanda kembali populernya statistik.
Dari tahun ke tahun, kita mengenal adanya profesi-profesi yang terdengar keren: Penulis, fotografer, videografer, copy writer, travel blogger, strategic planner, social media executive, dan seterusnya. Sekarang, seksi adalah statistika. Data analis, bisa jadi, merupakan salah satu profesi paling panas saat ini.
Tetapi dengan membanjirnya informasi, meningkatnya kesadaran akan pentingnya data, dan dengan tersedianya segala sumber daya di internet, mengapa pula masih banyak perusahaan besar yang tersandung, bahkan tumbang?