Enam bulan pertama, ia menghabiskan waktu untuk riset. “Saya tidak tahu tanaman kakao seperti apa, petani itu di mana,” kata Sabrina, mengenang perjalanan Krakakoa.
Walaupun ia bekerja di sektor pertanian, kebanyakan hanya berupa memberi saran atau laporan sehingga ia jarang sekali ke lapangan atau berinteraksi dengan petani. Ini yang membuatnya geram, “We never get our hands dirty”.
Karena itu, ide Krakakoa membuatnya sangat bersemangat. Ini berarti ada sesuatu yang nyata yang ia lakukan dan memiliki dampak langsung.
Lampung adalah sumber utama cokelat Krakakoa. Di sana, Sabrina bekerja dengan sekitar seribu petani. Sabrina langsung terjun ke lapangan seperti impiannya, bukan sekadar duduk diam di belakang meja menghitung untung dan rugi perusahaan.
Ia langsung terlibat dengan proses produksi dan pascaproduksi. Semua petani mitra Krakakoa harus menyelesaikan lokakarya pendidikan selama dua bulan tentang praktik pertanian yang baik dan metode pertanian berkelanjutan.
Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, para petani akan diberikan peralatan pertanian dan dukungan berkelanjutan dari pelatih Krakakoa. Beberapa kali dalam setahun, Sabrina akan tur ke kebun-kebun cokelat Krakaoa di seluruh Indonesia.
Selain di Lampung, kini sudah ada juga di Sulawesi, Kalimantan, dan Bali. Menginap di rumah petani, melihat kebun mereka, fermentasi yang mereka lakukan, dan apakah kualitas cokelat mereka membaik.
“Proses pascapanen sangat penting bila kita bicara cokelat,“ kata Sabrina. “Cara fermentasi, cara jemur akan berpengaruh sekali dengan produk akhirnya. It will affect the taste so much.”
Karena Krakakoa bekerja langsung dengan petani, Sabrina dan timnya bisa langsung memberikan masukan hingga mendapatkan kualitas yang ia inginkan.
Untuk setiap batch cokelat yang ia terima, ia akan membuat produk contohnya dan mengirimkannya ke petani. Dengan begitu, para petani akan tahu rasa yang tercipta atas usaha mereka.
“Petani biasanya hanya berpikir, ini biji cokelat untuk dijual. Tapi kalau bisa kita hubungkan dengan produk finalnya, mereka bisa lebih tahu,” Sabrina bercerita.
Interaksi ini mungkin terlihat sepele namun dari komunikasi yang terbentuk inilah kualitas cokelat terbaik bisa didapatkan.
“Kami juga membayar tiga kali lebih dari upah pasaran,” ujar Sabrina. “Kami mencoba memberikan sistem insentif atas hasil kerja mereka.”
Alasannya, karena menjadi petani tidak mudah. Mereka bekerja keras, pergi ke kebun, panas, digigit nyamuk, ditambah dengan risiko gagal panen. Jadi, mengapa mereka tidak dibayar tinggi? Itu pemikiran Sabrina.
Di halaman selanjutnya, Sabrina bercerita tentang cintanya pada cokelat