"Dokter Idun sedang autopsi," jawab suara di seberang ketika saya menelepon ke kantor Departemen Forensik dan Medikologi FKUI-RSCM -posisinya bertetangga dengan kamar jenazah RSCM. Idun adalah sapaan akrab dr. Octavinda Safitry, dokter spesialis forensik di FKUI-RSCM.
Berhadapan dengan jenazah -yang baru meninggal atau sudah lama, utuh maupun sudah jadi peretelan- adalah hal biasa bagi Idun. Umumnya jenazah yang ia autopsi adalah korban pembunuhan atau yang diduga korban pembunuhan "Makanya kami sesama dokter forensik suka menjuluki profesi kami sebagai 'spesialis body parts'," kata wanita yang tengah mengandung anak keduanya ini, tertawa. Dan mengingat hasil autopsi paling baik didapat ketika jenazah belum lama meninggal, tak jarang Idun dipanggil untuk melakukan autopsi pada malam hari, bahkan tengah malam. Tapi sesekali ia juga berurusan dengan manusia hidup, misalnya melakukan visum bagi korban pemerkosaan, KDRT, atau malapraktik.
Mungkin banyak yang penasaran, mengapa ia memutuskan untuk mengambil spesialisasi di bidang forensik, yang selain terkesan horor, juga tergolong 'kering' secara materi. "Alasan awal saya mau seperti dokter-dokter lain yang hidupnya sehari-hari tersandera di klinik dan rumah sakit. Saya orangnya senang keluyuran dan senang dengan kegiatan outdoor," kata Idun.
Setelah menekuni profesi ini lebih jauh, ternyata ia juga mendapat kepuasan dan kebahagiaan lain. "Saya antara lain bisa membantu jenazah untuk 'bicara'. Jenazah korban pembunuhan, kan, tidak bisa lagi mengatakan apa (dan siapa) yang membuatnya terbunuh. Hasil autopsi yang kami lakukan sedikit banyak bisa membantu dia untuk menjelaskan penyebabnya, seklaigus ikut memberikan keadilan buatnya," jelas Idun.
Ketua Program Studi Forensik di FKUI dan dosen (terbang) di UNiversitas Papua di Sorong ini juga kerap dipanggil bila terjadi musibah, misalnya kerusuhan, bencana alam, dan sebagainya. Idun juga ikut menangani DVI (Disaster Victim Investigation) atau proses identifikasi korban musibah, antara lain pada Kerusuhan 27 Juli 1996, Bom Bali I dan II, gempa bumi di Sumbar, serta kecelakaan pesawat Shukoi dan AirAsia QZ8501.
"Ketika terjadi Bom Bali I, saya dua bulan lagi menikah. Setelah dua minggu DVI di Bali, saya pamit ke atasan untuk pulang sebentar ke Jakarta karena harus foto pre-wedding," kenang Idun, tertawa geli.Ngomong-ngomong, apakah ia pernah diganggu oleh hal-hal yang berkaitan dengan 'dunia lain'? Sambil senyum-senyum, Idun menjawab,"Ah, saya, sih, nggak pernah. Bagi saya orang yang sudah meninggal, ya tidak bisa apa-apa lagi."
Foto: Hermawan