
Sebagai putri tunggal dari pasangan penari kawakan Retno Maruti dan Sentot Sudiharto, sejak bayi Rury Nostalgia, 46, sudah akrab dengan tari Jawa klasik.
“Umur empat tahun saya sudah ikut menari. Umur lima tahun mulai menari tunggal,” kenang Rury, saat ditemui di rumahnya di kawasan Jakarta Timur.
Ia bergabung dengan Sanggar Tari Padnecwara yang didirikan orang tuanya sejak tahun 1985, namun baru tiga tahun kemudian ia berhasil mendapat peran—itu pun sebagai katak. Dua tahun kemudian barulah ia memerankan Pembayun di pementasan Sekar Pembayun.
“Deg-degan parah, karena saya harus bergantian menari dengan Mama. Dari tiga hari pentas, Mama tampil memerankan Pembayun di hari petama. Di hari kedua dan ketiga, barulah saya yang tampil dengan peran yang sama,” ceritanya.
Padnecwara memang kerap mengambil latar belakang cerita dari berbagai daerah yang dipentaskan dalam format tari Jawa klasik. “Setiap tarian ada ceritanya masing-masing. Seperti Sekar Pembayun, kami harus sowan ke makam Kanjeng Ratu Pembayun. Sewaktu akan mementaskan Calon Arang di Bali, kami juga datang ke pura yang biasa didatangi para penari legong,” ia menjelaskan.
Rury mengaku orang tuanya tidak memaksakan ia harus menyukai tari Jawa. Itu sebabnya, ketika duduk di SMP, ia sempat tertarik dengan breakdance dan ayahnya membiarkan Rury mempelajari tarian itu bersama Septian Dwi Cahyo. Selain breakdance, ia menguasai tari daerah lain. Di usia 13 tahun, ia bahkan telah menciptakan tarian Saragimita, gabungan dari berbagai tarian Nusantara.
Ia juga tergabung dalam Sanggar Pelangi Nusantara, yang memungkinkannya menguasai tarian dari berbagai daerah di Indonesia. Ia pun kerap tampil bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta dan Laboratorium Tari Direktorat Kesenian Depdikbud, yang membawanya menari hingga ke luar negeri. “Saya sampai berlomba banyak-banyakan visa di paspor dengan Papa-Mama,” katanya, lalu tertawa.
Setelah melewati semua itu, Rury akhirnya tetap kembali ke akarnya. “Saya berusaha jujur pada diri sendiri bahwa saya merasa lebih nyaman menari Jawa. Mungkin saya bukan orang yang sangat paham tarian Jawa, termasuk filosofinya, tetapi saya merasa di situlah tempat saya. Saya diajari tari Jawa murni dari Mama. Dan saya jatuh cinta.”
Ia kembali ke Padnecwara dan menjadi pengajar tari di sana. Anak pertama Rury, Kanya, juga sekarang sudah mulai dikenalkan pada tari Jawa klasik seperti, yang diturunkan ibunya kepadanya dulu. Selain itu, Kanya sudah mulai lancar menyanyi lagu Jawa. “Biarkan mengalir saja.”
Rury mengaku hubungannya dengan kedua orang tuanya dulu juga sangat santai. Ketiganya bisa berdiskusi seru kalau sudah membicarakan pementasan. Kini, sebagai penerus, ia tidak mau kebanyakan rencana. Ia lebih banyak memperhatikan perkembangan tari dan berusaha bergerak cepat.
Karena sejak kecil sudah hidup di sanggar, Rury bisa membedakan murid-murid zaman dulu dan sekarang. Ibunya dulu memiliki kursus tari di Institut Kesenian Jakarta dengan murid ratusan. “Anak dulu dikerasin tidak apa-apa. Anak sekarang dikerasin langsung ngambek, lalu pindah ke sanggar lain.”
Selain itu, penari-penari sekarang sering menganggap eksistensi mereka dihitung dari banyaknya tampil. “Padahal, dengan menguasai tari, juga sudah termasuk eksistensi. Di Padnecwara, para penari tampil karena memang sudah layak tampil—terutama untuk pertunjukan-pertunjukan utama. Tetapi kami juga memiliki pementasan untuk setiap level yang memberi kesempatan murid untuk menunjukkan kemampuannya. Itu juga ada ujiannya,” kata Rury.
Kini fokus Rury adalah mengurus manajemen Padnecwara, termasuk website-nya, dan rajin mempromosikan Pandecwara agar bisa tetap diundang tampil di luar negeri serta membawa penari-penari muda sebagai wujud regenerasi. Ia juga tetap menciptakan koreografi tari, meski tak ingin disebut koreografer.
“Mama-Papa saya itu, merekalah koreografer. Saya masih jauh dari itu. Koreografer itu tingkatannya tinggi sekali—harus menguasai tata panggung sekaligus musik, dan saya belum sedetail Mama-Papa dalam hal itu. Jadi, cukup sebut saya penata tari saja,” Rury menutup perbincangan.
Foto: Denny Herliyanso
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Tania Ledezma