“Ini sebetulnya rumah lama, dibangun pada tahun 1980-an. Saya beli sekitar enam tahun lalu, tapi baru bisa membongkar dan merenovasi dua tahun lalu,” jelas Mhya. Rumah itu berdiri di atas tanah seluas 585 m2, dengan luas bangunan kurang-lebih 500 m2. “Konsepnya memang open space, seperti rumah di Bali.
Mhya, bersama suami, Alexander Triyono, dan anak perempuannya, Nadasja Chantal Alexandra, memang kerap bolak-balik Jakarta-Bali, baik untuk urusan pekerjaan maupun, dalam kasus sang suami, mencari spot free diving yang cantik.
Ruang tamu itu begitu lega. Dari pintu masuk, saya bisa melihat kolam renang yang berada di tengah bangunan, persis di depan jendela-jendela kamar tidur utama. Meski tanpa sekat, saya melihat ruang tamu itu terbagi menjadi tiga titik, masing-masing terdiri atas meja dan kursi-kursi atau sofa. Saya merasa seperti sedang menyaksikan showroom Ikea.
Ketiga titik itu menimbulkan nuansa yang unik. Ada unsur modern dan minimalis terasa, namun ada pula pengaruh pop art dan seni tradisional. “Ini rumah gaya bebas,” candanya. Ia seperti kesulitan menerjemahkan konsep rumah ke dalam definisi yang kaku. Alex, sang suami, setelah berpikir sejenak, menyebutnya eklektik.
Eklektik, dalam konteks interior, mencakup penggunaan desain dari berbagai periode dan aliran, termasuk juga warna, tekstur, bentuk, dan finishing. Meski terdengar campur-aduk, sebuah desain eklektik tetap menaruh estetika di tempat teratas.
Mhya memang mengisi rumahnya dengan barangbarang custom, meski tak melulu barang baru. Visinya, rumah tetap sejalan dengan tren, namun diisi dengan barang yang rare. Untuk mewujudkan itu, ia memang mesti repot dan meluangkan banyak waktu.