Tiga piala Citra sudah dipeluk Retno Ratih Damayanti. Tiga tahun berturut-turut—2013, 2014, dan 2015—ia meraih Penata Busana Terbaik lewat film “Habibie & Ainun,” “Soekarno,” dan “Guru Bangsa: Tjokroaminoto.”
Jika Anda terpesona pada kostum yang dikenakan Dian Sastrowardoyo dan para pemain lain dalam film “Kartini,“ Retno pula yang menatanya. Risetnya begitu mendalam, karena ia ingin menghidupkan kembali suasana abad ke-19 dan awal abad ke-20 secara autentik, seperti yang digambarkan film itu.
Bicara soal menata kostum, wanita kelahiran tahun 1972 ini sudah memulai sejak lama. Sejak SMA, wanita asal Yogyakarta ini aktif sebagai anggota teater. Karena tak suka menjadi pemain, ia menawarkan diri menangani kostum. “Saya senang dunia panggung. Saya senang film. Tapi habis itu saya mikir, apa yang bisa saya lakukan di dunia itu, ya? Akhirnya saya memilih kostum dan makeup,” cerita Retno, lulusan Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada.
Belajar membuat kostum dan merias karakter ia dalami secara otodidak. Begitu kuliah di UGM, aktivitasnya di teater terus belanjut. Ia bergabung dengan Teater Garasi, teater jurusan Fisipol UGM. Sebelum hijrah ke Jakarta, Retno juga sempat menjadi dosen Tata Rias dan Busana di Institut Seni Indonesia, Yogya, selama enam tahun.
Dari dunia teater, Retno berkenalan dengan Garin Nugroho dan Hanung Bramantyo. Film pertama yang ia tangani adalah “Opera Jawa” arahan Garin Nugroho. Garin kerap menonton pertunjukan Teater Garasi, sedangkan Hanung sama-sama anak teater seperti dirinya. Setelah lulus, Retno diajak Hanung menangani proyek film di Jakarta.
Sejak itu, hampir semua film Hanung ia tangani kostumnya, seperti “Ayat-Ayat Cinta, “Get Married,” “Surga yang Tak Dirindukan 2,” dan “Kartini.” Hingga saat ini sudah ada 50 film yang pernah ia tangani.
Retno menyadari kekuatan dan kelemahannya. Ia bukan seorang fashion designer. Ia tak bisa mendesain dan menjahit. Untuk itu, ia punya rekan kerja lulusan sekolah mode. Retno mengandalkan kekuatannya dalam meriset secara detail.
Berbagai foto dari buku, internet, juga informasi dari museum dikumpulkan untuk referensi. Setelah referensi itu ada, ia menunjukkannya kepada tim untuk mendiskusikan model, warna, dan bahan yang sesuai. “Saya punya banyak sekali data foto tentang busana Indonesia. Dari tahun 1800 sampai 1900 sekian saya punya.”
Ada kostum yang harus dibuat sendiri, ada pula yang bisa dibeli atau dipinjam. Kebanyakan film sejarah harus membuat kostum sendiri karena bajunya sulit dicari, misalnya film “Soekarno.” Pada adegan Soekarno berpidato, ada dua ribu figuran yang ia jahitkan baju. “Saya bawa baju untuk (syuting) Soekarno itu sampai empat truk. Saya bikin kemeja sekitar lima ribu potong. Saya sebar ke beberapa penjahit,” kisah Retno.
Pernah juga ia dipinjamkan jaket milik B.J. Habibie dan istrinya, Hasri Ainun Habibie, untuk film “Habibie & Ainun.” Kedua jaket itu dipakai Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari di adegan terakhir. Ketika ia kesulitan mencari jeans ice wash ala tahun 80-an, ia mencari baju bekas di Pasar Senen, Jakarta, untuk dipakai para pemain “Tiga Srikandi.”
Retno masih punya banyak impian. Ia ingin memiliki perusahaan yang menaungi para penata kostum agar ia bisa membimbing, juga menyalurkan pekerjaan di berbagai film dan sinetron. Retno juga ingin memiliki studio kostum dengan penataan yang rapi. Dari pengetahuannya selama ini, Retno juga ingin membuat buku tentang kostum film.
Setelah meraih tiga Piala Citra, Retno merasa sudah saatnya penghargaan ini diberikan untuk orang lain. “Saya ingin yang lainnya merasakan kesenangan dan kebahagiaan yang saya rasakan.”
Foto: Adelli Arifin
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah dan rambut: Cindi Mei Arani