Maestro tari Indonesia ini berkisah tentang kehidupan penari, dan manfaat tari bagi kehidupan.
Momen masa kecil yang membentuk diri saya adalah lingkungan keluarga. Ayah saya seorang pemahat dan juga dalang. Ibu adalah ibu rumah tangga Jawa yang bisa membatik dan merias. Saya juga selalu dikelilingi para empu Keraton, seperti empu tari dan empu karawitan, juga para pandai istana seperti pembuat baju dan blangkon.
Orang tua selalu mendorong saya untuk memerhatikan sekeliling. Itu yang memotivasi pembelajaran saya tentang seni. Apalagi, di sekolah dasar ada pelajaran wajib soal tari dan gamelan. Waktu itu saya memang masih mempelajari teknik-teknik dasar. Tetapi, itulah yang kelak menjadi kekuatan dasar saya untuk memelajari tari hingga ke bagian detailnya. Setiap orang punya alasan sendiri terkait ketertarikannya pada seni tari. Namun buat saya, menari adalah kebutuhan jiwa yang, jika tidak dijalani, seperti ada yang kurang. Menari itu seperti berdoa dan mengagungkan Tuhan.
Pelajaran yang saya dapat dari seni tari banyak sekali. Pertama, menari menyehatkan tubuh. Tetapi, ia bukan semata membuat jantung berdegup, tetapi menyejukkan rasa. Hati seperti disiram. Kedua, menari membangkitkan rasa percaya diri. Dan ketiga, menari membuat seseorang imbang rasa terhadap rekan penari lain. Saat menari, saya mendengar dan meresapi irama lagu, menghargai dan toleransi terhadap sesama. Ketika menari, kita juga berlatih menghilangkan ego demi kepentingan bersama yang lebih besar.
Saya memilih konsisten di tarian Jawa karena merasa pas di situ. Saya menyadari postur tubuh yang tidak tinggi semampai. Selain itu, karakter saya cocok di situ, meski saya juga mempelajari taritari daerah lain, seperti tari Bali, Sunda, Sumatra, Kalimanta dan Sulawesi. Bagi saya, memelajari banyak tarian sangat menambah kekayaan perspektif. Tetapi, tari Jawa adalah rumah saya. Saya merasa nyaman di sini dan tidak mau membohongi diri sendiri.
Selain menari, saya mengajar dan menjadi koreografi. Kita mesti menyadari posisi kita. Saat jadi penari, yang keluar adalah ego saya untuk menari sebaik-baiknya. Saat mengajar, ego mesti disingkirkan karena saya harus berbagi, agar muridmurid bisa menjadi lebih baik dari saya. Ketika menjadi koreografer, saya mesti bisa merangkul semuanya
Koreografi adalah manajemen orang. Untuk merangkul para seniman, kita mesti pandai dalam pendekatan individu. Banyak orang lupa soal ini. Contohnya, kita butuh tukang sapu, tetapi saat bertemu tukang sapu, menegur saja tidak. Cobalah untuk menyapa atau menawarkan makan. Sekecil apa pun peran orang, kalau dihargai, ia akan senang. Intinya, kita mesti menghargai individu sebagai manusia.
Saya belajar soal itu sejak mendirikan sanggar tari Padnecwara. Saat pertunjukan, yang terlibat tak hanya penari, tapi juga seksi perlengkapan, penata kendang, kostum, dan sebagainya, semua dengan sifat masing-masing. Dulu, saya sakit hati kalau ada yang pekerjaannya tidak sesuai ekspektasi. Tetapi, belakangan saya mengerti, bahwa sebagai pimpinan, artinya justru sayalah yang mengabdi dan melayani mereka. Jadi, pemikirannya
mesti dibalik.
Saya menikmati segala sisi dari pekerjaan saya. Dari pekerjaan kasar di belakang layar, seperti bersih-bersih, sampai pekerjaan di depan layar. Kalau tidak enjoy dengan pekerjaan, kita akan tersiksa. Saya mencoba menjalani dengan senang hati. Sebuah karya seni yang baik adalah yang baik bagi diri sendiri, baik bagi orang lain, juga baik karena memang baik. Kalau hanya baik bagi orang lain, kita seperti melacurkan diri. Kalau hanya baik bagi kita, itu juga egois. Kita mesti berkompromi, tanpa membuang prinsip bahwa pertunjukan mesti bagus. Jangan sampai, karya kita hanya bagus sebagai santapan mata, tapi tidak terkenang di hati.
[Baca juga kisah perempuan pionir olahraga arung jeram Indonesia]
Foto: Lufti Hamdi