Ratna Riantiarno, 65, dikenal sebagai seniman teater dan aktivis seni. Ia bicara tentang eksistensi teater di tengah serbuan teknologi digital.
Tahun ini Teater Koma genap berumur 40 tahun. Sebagai tanda syukur, Maret lalu kami mengadakan pementasan (ulang) berjudul Opera Ikan Asin, yang merupakan pementasan kami yang ke-147.
Sebagai salah satu pendiri Teater Koma (antara lain bersama N. Riantiarno, Rima Melati, Titi Qadarsih, Jim B. Aditya—red), kami sengaja memilih nama Koma (,) maksudnya supaya selalu berkelanjutan. Namun tetap saja kami merasa takjub sekaligus bangga bahwa Teater Koma bisa berusia sepanjang ini, dan—yang paling penting—tetap produktif.
Padahal, di tengah serbuan hiburan berteknologi digital seperti sekarang ini, mencari orang yang menonton pertunjukan teater semakin sulit saja. Apalagi bisa sampai full house untuk tiga hari pertunjukan. Tidak heran kalau seniman teater—setidaknya di Indonesia—belum bisa hidup hanya dari main teater. Tidak seperti orang film atau sinetron.
Kenapa saya mau nyebur ke teater, bahkan bertahan sampai sekarang? Padahal sebelumnya saya seorang penari (Bali) profesional yang sudah sering berpentas di istana maupun di luar negeri. Selama dua tahun (1974-1975), saya dan seorang teman penari nekad meneken kontrak menari di Ramayana, restoran Indonesia milik Pertamina, di New York.
Lokasi Ramayana sangat strategis, di Fifth Avenue, dekat dengan Broadway. Sebagian besar gaji saya habis untuk menonton pertunjukan teater atau musikal di Broadway.
Sebelum itu, sebenarnya saya sudah mengenal beberapa orang teater di Tanah Air, salah satunya Mas Nano (Riantiarno, yang kemudian menjadi suaminya—red), tapi belum ingin bergabung. Baru setelah kembali ke Jakarta, saya bergabung dengan Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer.
Waktu itu saya sudah berpacaran dengan Mas Nano. Lucunya, dia berasal dari Teater Populer pimpinan Teguh Karya, yang merupakan kompetitor utama Teater Ketjil. Jadi, meskipun kami berpacaran, sesungguhnya kami juga bersaing, ha ha ha.…
Di tahun 70-an, dunia teater memang sedang happening di Indonesia (dan menurut aktris Jajang C. Noer, Ratna merupakan salah satu primadona teater waktu itu—red). Bagi saya yang kalau bicara selalu tergesa-gesa dan artikulasinya tak pernah jelas, berlatih teater memberi banyak keuntungan.
Saya jadi terlatih untuk mengatur nada dan volume suara, memberi penekanan, mengatur emosi, belajar menghafal teks, dan juga kemampuan berakting. Ada kepuasan tersendiri saat saya tampil berakting di panggung teater.
Rasanya beda dengan ketika tampil menari—kalau menari saya, kan, nggak perlu bicara. Menyadari tidak hidup layak dari teater, saya bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan otomotif besar. Ternyata ilmu yang saya dapat dari berlatih teater sangat berguna. Saya jadi lebih gampang meyakinkan klien supaya membeli produk saya, ha ha ha.…
Saya sempat mendirikan perusahaan PR sendiri, serta menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1996-2003). Saya juga sesekali main film, jadi model iklan, dan main sinetron.
Namun cinta terbesar saya tetaplah teater. Empat puluh tahun silam, ketika Arifin C. Noer dan Teguh Karya semakin sibuk menyutradarai film layar lebar, kami para anak buah mereka memutuskan untuk mendirikan teater sendiri, supaya kami tetap bisa menyalurkan kecintaan pada teater.
Itulah Teater Koma. Agar lebih mudah diterima penonton awam, kami meramu seni teater dengan tarian dan nyanyian, juga komedi dan parodi.
Agar tetap eksis, Teater Koma konsisten menyenggarakan pementasan setidaknya dua kali setahun. Agustus nanti kami akan mementaskan pertunjukan ke-148. Saya bersyukur karena sampai saat ini masih ada saja yang mau menjadi sponsor, meskipun makin sulit mendapatkannya.
Saya sendiri sekarang sudah jarang tampil di panggung. Tugas saya lebih banyak mengurus produksi dan promosi—yang tak kalah penting. Regenerasi juga harus terus dilakukan. Anak sulung kami, Rangga, tampaknya berminat jadi penerus orang tuanya.
Setiap kali akan berpentas, kami latihan selama tiga bulan. Meskipun teater tidak bisa dijadikan gantungan hidup, bukan berarti orang-orang yang terlibat bisa latihan seenaknya.
Untuk yang satu ini, Mas Nano sangat keras dan disiplin. Mereka boleh saja aktris atau aktor terkenal, tapi kalau mau tampil di Teater Koma, harus mengikuti aturan kami.
Foto: Honda Tranggono
Pengarah gaya: Nanda Djohan
Rias wajah: Eva Isara
Tata rambut: Fetrisia Akbar