
Saat keluarga besar berkumpul di Hari Natal, sejumlah hidangan tradisional Inggris terhidang di meja makan, antara lain English Fruitcake, Shepherd Pie, dan Yorkshire Pudding. Semua itu hidangan yang wajib ada dalam perayaan Natal. Mungkin seperti paket ketupat-opor ayam-sambal goreng hati di hari Lebaran dalam masyarakat kita.
Yang istimewa buat saya adalah English Fruitcake. Bahan utama cake ini adalah rum dan buah-buahan kering serta kacang-kacangan, seperti kismis, prune, peach, ceri, almond, walnut.
Konon cake ini bisa bertahan disimpan sampai dua tahun, dan makin lama rasanya makin ‘keras’ karena alkohol dari rum dan buah-buahan kering sudah menyatu. Cake ini biasa dimakan bersama keju asin. Suami saya sangat doyan, tapi di lidah saya terlalu manis.
Meskipun suasananya hangat dan akrab, toh, tetap ada aturan konservatif khas Inggris yang masih diterapkan. Meskipun tidak lagi harus berganti baju dan berdandan rapi saat hendak makan bersama, kami tidak bisa melakukan pajama’s breakfast. Begitu pula saat makan siang dan makan malam. Saat makan, semua harus duduk di meja makan, dan yang pasti: Tidak boleh ada yang membawa ponsel di waktu makan!
Di hari lain, kami menginap di rumah kerabat yang lain lagi, kali ini di Kota Leeds. Tak jauh dari rumahnya terdapat sebuah taman yang dikelilingi hutan kecil. Di taman bernama Kirkstall Abbey Park itu kita bisa berjalan-jalan, membaca, atau sekadar duduk-duduk di kursi taman sambil memberi makan burung.
Tak jauh dari taman, terdapat Kirkstall Abbey, sebuah gereja tua yang tinggal puing-puing. Bangunan luarnya masih utuh, tapi bagian dalamnya ternyata melompong.
Kirkstall Abbey adalah sebuah gereja biara (abbey) Katolik dari terekat Cistercian. Gereja ini dibangun pada tahun 1152, tapi kemudian dibubarkan setelah adanya penolakan Raja Henry VIII terhadap Gereja Katolik dan kemudian mendirikan Gereja Inggris (Gereja Anglikan). Periode itu disebut Dissolution of the Monasteries (1536-1541).
Sejak itu pula gereja ini tak digunakan lagi meskipun tetap dirawat sebagai cagar budaya. Sebagai fotografer, saya langsung membayangkan betapa romantisnya pemandangan puing-puing gereja ini sebagai latar belakangan pemotretan pre-wed.
Pulang kampung ke Leeds memang menjadi ajang bernostalgia bagi suami saya. Dengan penuh semangat ia mengajak istri dan anaknya untuk napak tilas ke tempat-tempat yang menjadi bagian dari masa kecil dan remajanya. Salah satunya adalah ke department store Marks & Spencer. Di sanalah dulu ibunya selalu membelikan pakaian dan sepatu untuk anak-anaknya.
Selain itu, depsto Marks & Spencer di Leeds memang istimewa. Selain karena eksterior dan interiornya dibiarkan tetap vintage, di kota inilah pertama kali depsto itu didirikan pada tahun 1884 oleh Michael Marks, seorang pengungsi perang asal Polandia.
Awalnya ia hanya membuka lapak kecil murah meriah dengan slogan “Don’t Ask The Price, It’s a Penny.” Pada tahun 1894, ia berpartner dengan Thomas Spencer, mantan kasir di sebuah toko grosir. Sejak itulah berdiri depsto Marks & Spencer yang masih berjaya hingga sekarang.
Seperti diceritakan kepada Tina Savitri
Foto: Nita Strudwick