
Hampir setiap tahun menemani suami pulang kampung ke Leeds, Inggris, untuk merayakan Natal, saya—Nita Strudwick—bisa menarik kesimpulan: Ternyata Leeds tak jauh beda dari kampung halaman saya di Yogya.
Di bulan Desember, sinar matahari adalah barang langka di Inggris, yang nyaris selalu kelabu sepanjang hari. Tapi, itulah yang terjadi saat saya keluar dari Stasiun Leeds pertengahan Desember lalu. Matahari bersinar terang-benderang sehingga pemandangan sekitar tampak berpendar keemasan, meskipun tetap saja dingin.
Ini memang bukan pertama kali saya berkunjung ke Leeds, kampung halaman suami saya. Hampir setiap tahun dia mengajak saya dan putri kami Camille untuk merayakan Natal bersama keluarga besarnya (mereka delapan bersaudara, termasuk keluarga besar untuk keluarga Inggris).
Karena rumah kami di Leeds sedang dalam status dikontrakkan, selama kunjungan dua minggu itu kami menginap bergantian di rumah saudara-saudaranya. Hampir setiap hari ada saja undangan dari para kerabat suami saya untuk berkunjung ke rumah mereka. Atau sekadar menengok para paman dan bibi serta sahabat yang lama tak bersua.
Melihat hangatnya kebersamaan mereka, pupuslah mitos orang Inggris yang sering digambarkan dingin, kaku, dan penuh basa-basi. Berada di tengah mereka, saya justru serasa berada di kampung halaman saya sendiri di Yogya.
Leeds adalah sebuah kota di pesisir barat Inggris, menghadap ke Laut Utara, dan dapat dicapai dengan naik kereta sekitar 3 jam dari London. Dari pusat kota Leeds, kami menyambung perjalanan dengan mobil selama 30 menit menuju wilayah pedesaan bernama Drighlington.
Itulah kampung halaman suami saya, desa tua yang tenang, sepi, dan masih ‘sangat Inggris’. Populasinya tak sampai 6.000 orang. Beberapa saudara suami saya masih tinggal di situ, tapi lebih banyak yang sudah pindah ke kota besar. Mereka akan berkumpul kembali di Drighlington untuk merayakan Natal.
Mengikuti kebiasaan orang Inggris yang gemar jalan kaki, selepas sarapan atau di sore hari saya ikut berjalan-jalan bersama para ipar dan keponakan, menyusuri jalan-jalan desa yang indah. Lalu lintas yang sepi dan udara yang bersih dari polusi membuat acara jalan-jalan terasa menyenangkan dan menyehatkan.
Kami bertemu beberapa penduduk setempat yang juga sedang jalan-jalan, sebagian membawa anjing mereka. Dan mungkin karena penduduk Dirghlington hanya sedikit, umumnya mereka saling kenal satu sama lain. Setiap kali berpapasan—di jalan, di taman, di pasar—mereka akan saling sapa dan bertanya kabar, bahkan tak jarang ngobrol ngalor-ngidul.
Yang membuat saya terperangah, bila ada orang yang bertanya arah, mereka akan menunjukkan arah yang dituju dengan ibu jari, bukan dengan telunjuk. Tuh, kan, persis orang Yogya!
Orang Inggris juga terkenal suka berkebun. Itu saya buktikan saat kami menginap di rumah kakak suami saya. Halaman belakang rumah mereka dijadikan kebun sayur dan buah, seperti tomat, seledri, selada, stroberi, sehingga untuk konsumsi sayuran sehari-hari mereka tak perlu sering-sering membeli. Sebagian lahan dijadikan kebun bunga. Kebunnya ditata alami bergaya English garden. Saya betah berlama-lama berada di situ.
Rumah mereka juga tak kalah menarik, karena ditata dengan gaya Inggris pedesaan yang manis. Afternoon tea masih menjadi agenda harian, meskipun yang dihidangkan hanya teh dan cookies. Scone—yang identik sebagai camilan khas afternoon tea—kini justru jarang dihidangkan di rumah-rumah orang Inggris.